Zhuhur ini masjid kosong. Suara adzan di HP si Umi sudah berbunyi. Saya menunggu sesaat. Suara-suara kresek dari speaker masjid lalu dilanjut suara adzan.
Dua menit berlalu. Hening senyap. Saya bergegas memasang masker, mengambil sajadah dan peci hitam andalan. Jarak rumah ke masjid cuma sepuluh langkah.
Saya ambil kunci di tempat biasa, menyalakan mike dan audio, lalu mengambil nafas. Dua tarikan ternyata belum membuat degup jantung stabil.
Ada beban berat menggantung. Saya menepis suasana magis yang ada di ruangan depan imam. Sekali lagi saya menarik nafas panjang dan melepasnya pelan-pelan.
Sambil merapal doa, saya mulai adzan dengan suara sedikit serak. Setengah gelas air putih sebelum berangkat tadi mestinya bisa membuat tenggorokan saya lancar jaya.
Lantunan adzan saya standar saja. Tak banyak lekukan. Tak seperti adzan Madinah dan Mekkah. Butuh nafas panjang untuk bermain nada.
Adzan hari ini terasa istimewa bagi saya. Bukan karena dilantunkan di hari nan fitri, melainkan karena dikumandangkan di tengah keraguan berbagai pihak terhadap aktivitas di masjid.
Kontroversi merebak sejak pandemi Covid-19 menguasai dunia. Perdebatan panjang di group-group WA pengurus masjid sangat melelahkan. Menguras energi.
Jemaah terbelah. Mayoritas memilih sholat di rumah. Ndak ada masalah. Sebagian kecil masih melaksanakan sholat berjamaah tapi sambil mengambil jarak, membawa sajadah sendiri dan wajib memakai masker.
Masing-masing jemaah saling menegur, saling mengingatkan. Protokol kesehatan dijaga ketat. Di beberapa tiang ditempel pengumuman bahwa jemaah wajib membawa sajadah dan memakai masker.
Ironisnya di pintu masjid terpampang spanduk yang menyatakan bahwa pengurus telah memutuskan bahwa tak ada sholat jumat di masjid.
Jumatan saja tidak dilaksanakan, apalagi sholat wajib harian. Spanduk itu memang untuk menunjukkan kepada mayarakat umum atau pendatang bahwa masjid mengikuti aturan yang telah disepakati pemerintah.
Lalu, tadi pagi, di rakaat pertama, di takbir ke tujuh, air mata saya merebak. Saya berusaha menahan untuk tak jatuh.
Dada kok rasanya menggelegak. Saya merasa sholat di bawah tekanan. Di bawah cibiran. Menjadi terasing. Merasa masjid ini bukanlah tempat suci.
Seolah sholat di sarang penyakit. Saya kuatkan bathin menahan jangan sampai isakan saya terdengar.
Sejak beberapa hari memamg sudah ada kasak kusuk. Beberapa teman menginformasikan bahwa ada jemaah yang tetap berkeinginan sholat Id di masjid.
Saya sempat menyela diskusi. Jangan sampai ada eksklusivitas di masjid. Ingat, ini rumah Allah. Siapapun berhak datang.
Sepakat, sholat dilaksanakan satu jam setelah sholat shuhuh. Tak ada pengumuman resmi. Siapapun yang memang melangkahkan ke masjid berhak ikut.
Ruangan masjid dibelah dua. Ruang buat jemaah lelaki lebih banyak. Pasca sholat shubuh saya mengambil inisiatif.
Saya sampaikan jemaah Shubuh bahwa secara resmi masjid tak melaksanakan sholat Id. Tapi, bagi yang berkenan mau sholat silahkan datang dengan syarat. Sholat dimulai pukul 06.15. Singkat, padat, jelas.
Lampu masjid dimatikan. Speaker pun hanya terdengar di bagian dalam masjid. Suara takbir tak sekeras seperti biasanya.
Hanya bergema lemah di dalam masjid. Tapi cukup untuk menciptakan atmosfir lebaran. Siapapun yang duduk di atas sajadahnya pasti merasakan nuansa berbeda.
Pikiran saya melayang jauh ke jalur Gaza, atau ke daerah perang lainnya. Begini rasanya sholat dalam kondisi tertekan.
Air mata masih merebak. Saya menyimak dengan baik surat Al Fatihah yang dibacakan imam.
Kok kita jadi begini ya. Pandemi Covid-19 ini sangatlah ganas. U
Sudah lebih seribu orang wafat karenanya.
Mental jemaah jatuh. Kita berdebat sengit. Masjid tentu menjadi sasaran utama. Masjid tempat orang berkumpul. Lima kali sehari.
Ditambah salam sambil cipika cipiki lengkap sudah. Stigma harus dilekatkan. Aktivitas masjid harus dibatasi.
Lalu siapa yang bisa menahan rindu jemaah yang ingin merunduk sedalam-dalamnya. Mencium lantai masjid. Meneriakan ucapan aamiinn secara bergemuruh?
Tak ada rindu yang lebih dahsyat daripada itu. Tapi akal sehat tetaplah dikedepankan. Protokol kesehatan harga mutlak.
Sesama jemaah dengan berani saling menegur hingga meminta pulang jemaah yang tak membawa sajadah atau masker. SOP harga mati.
Doa-doa pun dilantunkan. Jangan sampai jatuh korban. Yang merasa tidak sehat diminta untuk tidak ke masjid.
Saya pun demikian. Merasa kurang fit saya urunkan untuk datang. Terkadang bercampur antara malas dan tak enak badan. Dari 30 malam ramadhan saya hanya dapat 7 kali saja tarawih. Sisanya saya laksanakan di rumah.
Maapkan ya Allah. Saya bukannya tak patuh. Tapi saya melihat kenyataan bahwa, untuk ke kantor saya berani datang. Untuk ke pasar saya juga berani. Walau keduanya karena terpaksa.
Lalu, saya kok merasa tak punya nyali untuk tidak mampir ke masjid. Itupun dekat dengan rumah saya. Itupun dengan standar kesehatan yang disepakati bersama.
Saffa, anak bungsu saya sempat mendebat. Pahalanya sama kok bi. Atau, tak ada hadist yang membolehkan sholat jemaah berjarak.
Perbedaan pendapat ini sedemikian tajam. Saya memahami alasan itu. Tapi soal hati tak ada yang tahu. Itu persoalan hamba dengan penciptanya. Namanya hablun minallah. Tak seorangpun tau rahasianya.
Hidayah atau panggilan itu hak prerogatif Allah. Saya hanya follower saja. Ketika hati ini menangis merasakan nikmatnya sholat, di saat itulah bathin merasa tenang.
Sholat fardhu tak banyak yang datang. Rata-rata 10 orang saja. Jemaahnya saya kenal dengan baik.
Seperi zhuhur hari ini, hanya empat orang yang sholat. Jadi kalaupun masih ada keraguan bagi yang melaksanakan sholat di masjid. Tak usahlah menambah stigma bahwa orang Islam bandel dan tak paham aturan.
Ini hanya masalah hati dan akal sehat. Kita sepakat berbeda, dan kita sepakat saling memahami. Tak usah menambah label. Tak usah merasa risau. Barakallah.
24/05/2020.
#IdulFitri1441H
#TulisanEO