Di desa tajur tinggal sepasang suami istri yang belum memiliki keturunan. Suatu hari sang istri menjala udang di sekitar batu di aliran sungai citarum, saat sedang menjala udang perut sang istri terkena ikan mas yang tiba-tiba meloncat dan menabrak perut sang istri.
Setelah beberapa hari kemudian sang istri dari keluarga yang belum memiliki keturunan tersebut hamil. Selama sembilan bulan menunggu kehadiran bayi tersebut, akhirnya sang istri melahirkan.
Namun suami istri tersebut terkejut ketika untuk pertamakalinya mereka melihat sang jabang bayi yang baru dilahirkan tumbuh jengger  (Bahasa Sunda: Jawer) di bagian kepala bayi tersebut seperti yang biasa tumbuh di bagian kepala ayam.
Karena Mereka merasa malu terhadap masyarakat desa tajur yang dominan anak santri, Mereka kemudian berpikir dari pada terus-menerus menanggung rasa malu, suami istri tersebut sepakat mengambil keputusan untuk membuang sang bayi.
Pelan-pelan sepasang suami istri tersebut menaruh bayi dalam keranjang dan menghanyutkan jabang bayi tersebut yang ada di dalam keranjang. Aliran Sungai Citarum terus menghanyutkan bayi yang memiliki jengger itu. Semakin menjauh, menjauh, dan menjauh hingga tak lagi terlihat. Pada sekitar tahun 50an, Saat sungai citarum akan di bendung hal serupa terjadi lagi di daerah ciguha, tetapi bayi tersebut tidak di buang melainkan di rawat hingga membawa kekayaan, karena banyaknya masyarakat yang ingin melihat bayi tersebut bahkan dari luar desa hingga bupati dan gubernur mendatangi bayi tersebut dan mereka pun memberikan sedikit rejekinya kepada orang tua bayi tersebut. Tetapi umur bayi tersebut tidak bertahan lama hanya sampai berumur 40 hari.
Tidak ada seorangpun mengetahui apakah bayi yang telah dibuang tersebut dalam keadaan hidup atau sudah meninggal, yang pasti bayi tersebut dipercaya masyarakat setempat sebagai sosok Mbah Jawer yang menguasai Waduk Jatiluhur. Konon sosok Mbah Jawer memiliki dendam pribadi terhadap orang tuanya yang telah membuang beliau, sebab itulah masyarakat yang ingin menyebrang waduk jatiluhur dilarang untuk menyebutkan bahwa dia orang tajur bahkan masyarakat dari luarpun dilarang menyebutkan desa tajur. Masyarakat yang melanggar pantangan tersebut akan ditenggelamkan bahkan sampai keturunannya akan di tenggelamkan oleh Mbah Jawer hingga tujuh keturunan.
Konon sosok Mbah Jawer telah menelan banyak korban dari desa tajur yang berniat untuk menyebrang waduk Jatiluhur, bahkan setiap festival perahu dayung di sungai citarum tidak pernah satupun desa tajur mengirimkan orang untuk mengikuti festival tersebut.
Mbah Jawer tersebut disangkut pautkan dengan banyaknya korban saat pembangunan bendungan Ir. H. Djuanda yang mungkin tidak meminta izin terlebih dahulu kepada Mbah Jawer, sebab dulu setiap kegiatan yang bersangkutan dengan sungai citarum haruslah meminta ijin sebagai bentuk penghormatan kepada Mbah Jawer dengan melakukan ritual tertentu yang di suguhi dengan sesajen-sesajen tertentu seperti rokok minak jinggo, rurujakan, jajanan warung, serta tidak lupa menyan atau dupa. Ritual tersebut di iringi oleh lantunan gamelan yang mengiri proses ritual tersebut saat seseorang yang dipercaya sebagai perantara membacakan mantara sambil menaburkan bunga ke tepian sungai citarum.
Tidak ada seorangpun yang bisa melihat wujud asli dari sosok mbah jawer secara utuh, tetapi wujudnya yang terlihat hanya sekedar jawer yang melintas dari hilir ke hulu sungai citarum. Konon Mbah jawer menampakan dirinya saat banyak anak-anak mandi di sungai citarum.