Pada kesempatan lain, ia kembali datang. Namun, kali ini sekadar kondangan di hajatan salah seorang keluarga terpandang. Seperti biasa, orang-orang berduyun-duyun naik ke atas panggung sesaat pria itu menyanyikan lagu dangdut diiringi organ tunggal, mereka berebutan, saling sikut demi mendapatkan saweran dari pria rapi itu.
Pria setelan rapi suatu kali datang lagi menyambangi. Bukan untuk saweran, tetapi berdagang sembako murah untuk rakyat-rakyatnya tercinta. Betapa mulia hatinya, rakyat miskin terlunta-lunta diberi jawaban doa lewat sekantong gabah lengkap dengan gula dan mie instan.
Laki-laki itu memang dikenal royal pada rakyatnya. Bukan sekali dua kali ia mentraktir satu gerobak jualan siomay atau batagor. Begitupun dengan rumahnya, Â tak pernah sunyi-sepi dengan tamu rakyat yang berkunjung minta ini itu. Itulah potret seorang pejabat merakyat, dia layak dikenang dan dipuja-puji bak dewa kesejahteraan.
Ironisnya, di kota yang sama, para calo bolak-balik masuk kantor menawarkan jasa pembuatan kartu dalam sekejap. Konon bila ditempuh dalam kondisi normal butuh paling tidak menunggu selama 2 minggu.
Di kota yang sama, jalanan hampir bertahun-tahun berlubang. Butuh sekian tahun akhirnya ditambal, setelah banyak minta tumbal. Lalu badut-badut berseragam lucu berbaris di perempatannya, tak ketinggalan bocah kecil dengan riasan sembrono berdiri di samping bapaknya. Ia menjilat permen kaki, di saat kakinya sendiri tak diberi alas sama sekali.
Di kota yang sama, orang-orang sakit jiwa duduk merenung di balai-balai. Sementara gadis berambut acak-acakan sibuk menghirup kaleng lem. Sekumpulan pemuda-pemuda gagah kurus kering dengan atribut serba hitam menyanyi lagu-lagu mengkritik rezim. Suara cemprengnya membuat pria dengan kemeja lepas kancing menggerutu, laki-laki itu tak selera lagi menelan bakso bulatnya sehabis mencium bau masam pahit hawa gembel anak negeri. Laki-laki itu mendesah, "Ah, sialan! Bahkan makan pun aku malas."
Orang itu murka, sebab gajinya sudah telat dibayar selama lima hari kerja. Di kota yang sama, pabrik-pabrik membayar upah sekonyong-konyongnya. Rakyat jelata dijadikan kuli murah, toh biasa saja. Bagi mereka perihal periuk nasi tak punya lagi solusi. Tak bisa ditawar-tawar, memangnya mau ngadu ke siapa? pria seragam kuning-kuning buncit sudah rutin datang ke sini. Sama saja.
"Lihat tadi di televisi, sang penyelamat akan menghukum penguasa nakal." Cerita si wanita mencoba menghibur.
"Kalau dia bisa, pasti sudah dari kemarin. Keburu aku mati menunggu janji," celetuk pria lepas kancing pesimis.
"Mati saja, nanti pak pejabat pasti melayat. Aku lihat di sosmed dia rajin melayat."
"Ah, kau."
"Mending kau ikutan nyalon jadi pejabat juga, siapa tahu rakyat mau membantumu."
"Memangnya kamu sudah siap bantu aku melawan anaknya nanti?"
"Bah, rupanya sudah mau bangun dinasti. Yasudah mati saja kalau  begini. Mengapa sih mereka maruk sekali?"