"Bu ... kerupuk!"
'Hujan begini. Siapa yang berteriak menawarkan kerupuk? Sepertinya, sumber suara ada di pintu samping,' pikir Laras.
Dengan malas, ia sibak selimut tebal yang menutupi tubuh. Wanita berjilbab nude itu mendekati sumber suara dan membuka pintu dengan langkah gontai.
"Kerupuk, Bu!" Mbok Ginah---penjual kerupuk langganan Laras---tersenyum sambil mengangkat seplastik kerupuk yang ia pegang. Bajunya basah. Topi caping yang ia kenakan juga mengalirkan tetes-tetas air.
"Ya Allah, Mbok. Masuk ... masuk," ujar Laras mempersilakan wanita berusia 85 tahun itu ke dalam.
"Maaf, ya, Bu. Ganggu," ujar Mbok Nah sungkan sambil membungkukkan badan.
"Enggak, Mbok. Nggak Ganggu. Ayo, masuk." Laras mempersilakan wanita berhidung bangir itu untuk duduk di kursi ruang tengah. Tanpa meminta persetujuannya, ia bergegas ke belakang, menyiapkan segelas kopi panas.
"Kok hujan-hujanan, Mbok?" tanya wanita bergamis ungu itu sembari meletakkan kopi di hadapannya. "Diminum, Mbok. Habis ini, makan, ya."
Mbok Ginah menggeleng, kemudian meminum kopi yang Laras siapkan.
"Kenyang, Bu. Walau nggak makan, kalau udah ngopi, Mbok kenyang," ujarnya.
Laras hanya mengulas senyum. 'Mbok Nah, selalu begitu.'
Sejak pagi, seperti biasa, Mbok Nah menjajakan kerupuk dengan sepeda onthel yang setia menemani. Menempuh jarak puluhan kilometer hingga sampai ke tempat Laras tinggal. Setiap hari, ia menjajakan kerupuk di tempat-tempat yang berbeda.
Hari ini ke Sukoharjo, besok ke Bandung Baru, esoknya lagi ke Banyumas. Semua ditempuh dengan jarak yang sangat jauh. Usia senja tak membuatnya malas. Sebab kata Mbok Nah, makin jauh jarak yang harus di tempuh, ia bisa bersilaturahim dengan banyak orang serta merasa jauh lebih sehat.
Terbukti, meski usianya hampir mendekati satu abad, wajahnya masih tampak segar dan kencang. Garis-garis kecantikannya tak pudar. Selain karena setiap hari ia bersepada menjajakan kerupuk, Mbok Nah memang seorang pribadi yang ceria. Ia selalu berfikir positif, bagaimanapun garis kehidupan yang harus ia jalani.
Mbok Nah menikah ketika usianya 15 tahun. Tahun pertama pernikahan, ia dikaruniai seorang bayi laki-laki lucu yang sehat. Dua tahun kemudian, anak keduanya lahir, juga seorang laki-laki. Tahun kelima pernikahan, ia kembali melahirkan seorang bayi perempuan. Tahun ke tujuh membina biduk rumahtangga, sang suami meninggalkannya demi wanita lain. Padahal ketika itu, ia baru saja melahirkan anak keempat.
Sedih, kecewa, dan terluka berkumpul menjadi satu rasa. Ia ingin marah, tapi tak tahu dengan siapa. Sang suami telah pergi meninggalkan ia dan keempat anak yang masih kecil.
Berhari-hari Mbok Nah terpuruk. Anak-anak yang sangat aktif membuatnya sering sakit. Sementara bayi yang terus tumbuh, juga terus saja menangis.
Mbok Nah prustasi. Di tengah himpitan masalah keluarga dan juga ekonomi, ia berniat mengakhiri hidup bersama keempat anaknya. Namun, saat rencana hendak ia lancarkan, sebuah bisikan lembut mengingatkan. Tentang anak-anak lucu yang menjadi harapan banyak orang. Tentang dosa yang akan ia tanggung tak hanya di dunia, tapi juga kelak, di alam sana. Tentang senyum anak-anak tak berdosa di hadapannya.
Mbok Nah menangis, meraung-raung menyadari nasib pedih yang harus ia jalani. Namun, ia segera mengusap bulir bening di wajahnya dengan kasar.
Mbok Nah berdiri, memandang keempat anaknya yang telah terlelap. Ia memutuskan untuk membasuh wajah dengan air wudu, lalu salat dan mengadukan semua pada ilahi. Ia yakin, tak ada ujian yang melebihi batas kemampuan.
Di atas sajadah, Mbok Nah berjanji, untuk bangkit dan membesarkan anak-anaknya sendiri. Tak ada sedih, atau kecewa. Ia hanya ingin mengukir masa depan gemilang.
Tentu, dengan memohon pertolongan Ilahi Rabbi.
Untuk memenuhi kebutuhan harian, Mbok Nah memutuskan untuk berdagang sayur keliling, tepatnya menjualkan sayuran hasil panen para tetangga. Sembari berjualan, ia membawa kedua anaknya ikut serta. Tak jarang, ia membawa tiga sekaligus. Sementara si bayi, ia titipkan kepada tetangga. Hidup jauh dari keluarga, menjadi tantangan tersendiri buat Mbok Nah.
Beruntung, saat itu sepeda sang suami tak dibawa. Jadi, bisa menjadi kendaraan satu-satunya buat Mbok Nah bekerja. Setiap hari, ia pergi pagi dan pulang siang. Sore harinya, ia gunakan untuk membuat kerupuk dari singkong yang tumbuh di samping rumah. Kalau sudah kering, kerupuk-kerupuk itu juga akan ia jajakan bersama sayuran yang ia bawa.
Hari berganti, bulan menyulam tahun. Anak-anak Mbok Nah sudah tumbuh semakin besar. Hidup mereka juga semakin baik. Banyak lelaki yang datang untuk meminang Mbok Nah, tapi tak satupun ia terima. Tekadnya telah bulat. Ia akan fokus membesarkan keempat anak-anaknya.
Sebagai bekal untuk anak-anak, Mbok Nah menitipkan anaknya pada pondok pesantren. Meski tak bisa memberi banyak harta, ia berharap, ilmu yang dititipkan kepada anak-anaknya akan menjadi hal yang bermanfaat kelak.
Hidup penuh perjuangan, nyatanya tak berhenti sampai di situ. Saat Mbok Nah sudah mulai menata kehidupan dengan lebih baik, sang suami pulang membawa madu dan anak-anaknya. Hati Mbok Nah meradang. Namun, ia memutuskan tak ambil pusing dengan kelakuan sang suami. Ia hanya berharap untuk bisa selalu berpikir positif, agar hari-harinya selalu diliputi kebahagiaan. Sebab, ia selalu yakin bahwa kebahagiaan yang ia pancarkan akan memberi pengaruh positif untuk keempat anaknya, juga usahanya.
Ia pun memutuskan untuk meninggalkan rumah, membawa pergi keempat anaknya dan tinggal di subuah gardu ronda. Selanjutnya, perjuangan kembali dimulai.
"Ibu mau beli berapa bungkus?" Pertanyaan Mbok Nah membuyarkan lamunan Laras tentang cerita-cerita masa lalu Mbok Nah.
"Oh, iya, Mbok. Ini yang tiga bungkus, tinggal semua aja."
"Makasih, Bu." Dengan santun, ia menerima pembayaran dari wanita cantik itu dan pamit untuk melanjutkan perjalanan.
"Masih hujan, Mbok. Nggak nunggu reda dulu," cegah Laras.
"Nggak papa, Bu. Hujan air, rahmat," ujar wanita berkebaya lusuh itu sembari tersenyum.
"Oya, Bu, jangan lupa. Lusa, beneran ke rumah, ya. Alamat yang tadi saya sampaikan. Biar cucu-cucu tau gubuknya, Mbok."
"InsyaAllah, Mbok."
***
Sesuai janji Laras, hari ini ia membawa ketiga putri untuk silaturahim ke rumah Mbok Nah. Sampai di persimpangan yang tempo hari Mbok Nah sampaikan, Laras kebingungan mencari alamat. Sebab, di ujung jalan, hanya ada sebuah rumah mewah dua lantai dengan mobil-mobil berjejer. Saat bertanya dengan orang-orang di sekitar, ternyata benar itu adalah rumah Bu Haji Ginah. Pemilik pondok pesantren dan panti asuhan khusus yatim dan janda-janda terlantar di desa Gedung Sewu. Wanita tua sederhana, namun luar biasa.
'Ah, Mbok Nah.'