Tepat pada bulan Mei mendatang lautan lumpur Lapindo berusia 13 tahun, tepatnya pada 26 Mei 2006 semburan lumpur pertama muncul di Desa Banjar Baru, Porong, Sidoarjo, yang mengakibatkan puluhan pabrik terpaksa gulung tikar, 500 hektar sawah dan rumah penduduk rusak, 24 ribu jiwa harus mengungsi, dan 45 ribu terkena dampak langsung. Sampai sekarang lumpur lapindo masih terus mengeluarkan lumpur bercampur aroma yang sangat menyengat. Sebelumnya lumpur Lapindo diperkirakan akan berlangsung hingga 31 tahun. Namun, penelitian terbaru tim geologi beberapa kampus di Eropa menunjukkan bahwa umur lumpur Lapindo bisa lebih dari itu. Tak ada upaya apapun selain terus meninggikan dan meluaskan tanggul, yang juga diiringi semakin meluasnya aliran lumpur Lapindo. Pada tahun 2007 pemerintaham SBY sempat membentuk badan penanggulana lumpur Sidoarjo (BPLS) melalui Perpres No.14 tahun 2007. Namun, entah karena alasan apa, pada tahun 2017 melalui Perpres No.21 tahun 2017, presiden Jokowi membubarkan BPLS dan sejumlah Lembaga Non Struktural (LNS). Efektivitas dan efesiensi sepertinya menjadi alasan pemerintah membubarkan BPLS da LNS ini, yang kemudian pelaksanaan tugas dan fungsi diambil alih oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pada tahun 2015 Jokowi juga mendesak ganti rugi harus terselesaikan sampai akhir tahun 2015. Total ganti rugi sebesar 3,8 triliun. 3,03 triliun dibayar oleh Minarak Lapindo, sedangakan 781 miliar ditalangi oleh pemerintah. Selain itu pada tahun 2016 pemerintah mencairkan sisa anggaran talangan dalam APBNP sebesar 54,3 miliar. Namun, itu juga belum cukup untuk mengganti seluruh kerugian korban. Masih ada korban yang belum mendapat ganti rugi sampai saat ini, alhasil mereka mengandalkan hidup dengan menyulap lautan lumpur yang menelan rumah dan mata pencaharian mereka menjadi objek wisata. Beberapa orang membuat tangga kayu, serta beberapa membuka warung didekat tanggul, hingga area parkir untuk wisatawan yang datang. Saya sempat berbincang dengan salah satu warga yang juga menjadi korban mengenai objek wisata yang membahayakan ini. Jawaban dari mereka pun cukup singkat dan jelas "kami juga takut sewaktu-waktu tanggul ini bocor dan meluap, namun kehidupan saya hanya bergantung dari wisatawan yang datang di sini".
KEMBALI KE ARTIKEL