saya tidak sedang membicarakan diri sendiri, tapi hanya ingin bercermin saja. sejujurnya bukan hanya saya saja yang harus bercermin, tapi mahasiswa yang lain juga harus bercermin. karena jujur saja, menurut pendapat saya, mahasiswa itu bukan lagi kaum intelektual.
kenapa saya bisa ambil kesimpulan begitu. mari kita lihat berita di televisi berita, baik itu di channel televisi merah atau di channel biru televisi. hampir setiap hari kita disuguhkan berita ada mahasiswa yang tawuran dan rusuh antar kampus. itu sih tingkat maksimalnya. tapi kalau tingkat minimalnya, ya mereka berdiri di atas mobil pick up dan berteriak-teriak pakai toa.
kadang-kadang saya bosan melihat siaran berita seperti itu. karena menurut pendapat saya, mahasiswa itu masih dibutuhkan sebagai kaum intelektual. untuk apa mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun mengantongi kartu mahasiswa, hanya untuk mendapat pengakuan di dunia pergerakan mahasiswa.
iya sih, dunia pergerakan mahasiswa itu penting. mungkin bisa dibilang itu sebagai ajang untuk mengaplikasikan diri dan ajang mengekspresikan darah muda yang sedang mendidih. tapi, apa tidak ada hal yang lebih penting dilakukan?
saya masih ingat ketika mantan wakil presiden jusuf kalla datang menengok korban banjir bandang di waduk situ gintung. disana ada mahasiswa yang berteriak-teriak menentang kehadiran wakil presiden. kata mahasiswa itu, kehadiran wakil presiden untuk meninjau itu tidak penting. yang lebih penting pemerintah harus bergerak cepat dan tanggap untuk menangani bencana dan merehabilitasi korban.
saya jadi bertanya-tanya sendiri, jangan-jangan mahasiswa itu juga tidak punya kerjaan selain orasi. bukankah daripada berorasi di depan wakil presiden dengan membawa toa, mereka lebih bermanfaat mengangkat cangkul bersama masyarakat membersihkan sisa banjir bandang. atau setidaknya mereka bisa membuka posko peduli situ gintung.
kembali lagi ke masalah mahasiswa yang katanya kaum intelektual. saya tidak tahu pasti ada berapa banyak mahasiswa yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. saya juga tidak tahu pasti berapa persen dari lulusan perguruan tinggi itu yang menjadi pengusaha, wiraswastawan, karyawan, atau sejenisnya. tapi rasanya tidak banyak.
saya tahu betul banyak mahasiswa yang dengan bangganya bercerita meraih IPK cum laude saat mereka yudisium dan wisuda. saya hanya bisa tersenyum satire saat mereka bercerita punya IPK cum laude, karena jujur saja IPK saya tidak bagus-bagus banget. malah bisa dibilang pas-pasan.
tapi di kemudian hari saya bisa tertawa di atas penderitaan orang lain, karena saya yang IPK-nya pas-pasan ini bisa dapat kerja di tempat yang saya senangi, dan saya nyaman dengan pekerjaan itu. sedangkan teman saya yang IPK-nya cum laude itu, hampir setahun menganggur karena lamaran kerjanya tidak kunjung diterima. mulai dari instansi swasta, pemerintah, BUMN, kompak menolak lamaran kerjanya.
belakangan dalam sebuah obrolan, dia mengaku sudah beberapa kali melamar menjadi PNS di beberapa lembaga pemerintah dengan modal IPK cum laude, tapi tak kunjung lulus. dia juga mengaku sudah beberapa kali melamar ke bank BUMN dan bank swasta supaya bisa diterima menjadi teller, tapi tidak juga diterima.
di dalam hati saya membatin sendiri. bukankah dia lulusan dengan IPK yang cukup baik, cum laude pula. sedangkan melamar kerja sebagai staf pegawai negeri sipil, yang sejujurnya tidak perlu cum laude. melamar sebagai pegawai bank yang juga sebenarnya bisa dikerjakan oleh lulusan perguruan tinggi yang IPK-nya tidak baik-baik amat.
bukankah dengan IPK-nya yang tinggi itu, dia bisa saja melamar di tingkat yang lebih tinggi. melamar sebagai perencana program di sebuah bank misalnya. tentu dengan mudah dia mendapat posisi itu. seorang manajer sumber daya manusia tentu tidak akan menerima orang dengan nilai yang baik, sementara hanya bekerja untuk posisi yang pas-pasan. belakangan saya tahu kalau teman saya yang IPK-nya cum laude itu, bekerja di salah satu instansi pemerintah setelah memberikan mahar ke salah satu pejabat disana.
di dalam hati saya geli sendiri. bukankah dia seorang kaum intelektual. semasa di kampus, dia aktif berorganisasi pula. tidak seperti saya yang ogah-ogahan masuk organisasi mahasiswa, apalagi yang berafiliasi dengan bau-bau politik. teman saya juga termasuk orang yang anti mencontek. kalaupun mencontek, paling-paling mata kuliah yang memang tidak dia kuasai, bukan seperti saya yang anti tidak mencontek. teman saya yang mahasiswa pintar bin cerdas itu rupanya masih kurang pede dengan kemampuannya, sampai-sampai rela menyerahkan mahar supaya bisa menjadi staf di instansi pemerintah.
mahasiswa jaman sekarang ini tidak hanya pintar tapi juga cerdas. sampai-sampai tidak ingat apa yang harus dilakukan untuk memajukan bangsa ini. semasa mereka di organisasi pergerakan, mereka sangat rajin membicarakan apa yang harus dilakukan bangsa ini untuk menjaga kemerdekaan. bagaimana idealnya pemimpin bangsa ini. tapi setelah mereka pensiun dari dunia itu, tidak banyak yang masih berpegang pada idealismenya. sisanya, mengetuk pintu kantor yang satu ke kantor yang lain, mengenakan jas dan membawa map yang isinya daftar riwayat hidup dan surat lamaran kerja.
memang tidak semua mahasiswa seperti yang saya tuliskan seperti di atas itu. ada kok mahasiswa yang masih idealis dan memilih hidup anti mapan. seorang teman saya yang lulusan universitas keguruan di jakarta sampai sekarang masih menggelandang hidup di daerah maluku sana. lewat chatting di facebook, ia mengaku hanya digaji Rp 700.000 tapi hidupnya sangat bahagia karena mengajar di sebuah sekolah terpencil yang sangat minim guru dan minim pendidikan. "saya merasa dibutuhkan disini," ceritanya lewat chatting.
ah, baiklah. sepertinya saya sudah cukup mengomel tentang mahasiswa, kaum intelektual, atau apa pun itu namanya. saya sendiri yang lulusan universitas negeri, bukan orang intelektual, karena IPK saya hanya 2,45. lebih baik saya bercermin sendiri. karena besok pagi saya harus bangun pagi, mengenakan sepatu kulit, celana bahan, kemeja, dan jas. tidak lupa saya harus membawa ijazah yang sudah dilegalisir, daftar riwayat hidup, dan surat lamaran.