Tapi yang saya perhatikan akhir2 ini, resto siap saji kok makin menjamur yah di jogja, bahkan di satu ruas jalan tepatnya jalan kaliurang terdapat 3 resto siap saji. Debut awalnya di mulai dengan resto siap saji yang menawarkan menu masakan Jepang H**a-H**a B**to, setelah itu entah mengekor atau tidak diikuti oleh gerai D**kin D**uts dan Pi**a H*t yang sebentar lagi akan 'meramaikan' jalan kaliurang yang sudah ramai itu.
Gak ada yang salah kok dengan keberadaan fast food, saya hanya merasa lidah orang Jogja maupun pendatang makin lama kok makin ketagihan dengan makanan ala fast food dan mulai meminggirkan makanan tradisional yang punya cita rasa khas dan pembuatannya juga lebih alami. Coba kalau disuruh memilih, pilih gudeh jogja atau nasi+fried chicken? pilih bakpia atau kentang goreng? pilih gudangan atau spagethi? pilih tiwul atau pizza? pilih geplak atau burger? pilih dawet atau softdrink?
Padahal ada banyak pertimbangan yang perlu kita perhatikan kalau kita ingin makan di resto fast food karena kandungan gizi fast food biasanya tidak seimbang. Kebanyakan mengandung kalori tinggi tetapi sangat rendah serat. Belum lagi tinggi kandungan lemak, gula, dan garam. Karena fast food tidak memenuhi kriteria gizi seimbang: kandungan kalori sangat tinggi, terutama dalam bentuk karbohidrat, lemak dan protein. Akibatnya, konsumsi yang tinggi akan menyebabkan risiko obesitas semakin tinggi. Dalam jangka panjang obesitas bisa memicu timbulnya berbagai penyakit, seperti diabetes dan jantung koroner. Selain itu kadar garam yang tinggi bisa memicu hipertensi (darah tinggi). Nah pengen sehat gak?
Oke, menghilangkan sama sekali emang susah guys, sekali-sekali okelah hanya saja diimbangi dengan makanan berserat seperti buah dan sayuran. Sebagai pengalaman saya pernah juga kok makan di resto siap saji, bahkan sampe dibela2in antre karena kena euforia iklannya dan penasaran juga karena belum pernah (hehe biar saja dibilang ketinggalan jaman). Tapi apa yang terjadi, saya kecewa dan emoh balik lagi. Coba aja makanannya hambar ga berasa bumbu, sedikit porsi dan jelas aja mahal. Kalo ga salah abis Rp 71.000 sama pajaknya, padahal kalo makan di gudeg atau angkringan bisa buat makan berapa kali tuh.
Saya juga berharap makanan tradisional seperti gudeg, angkringan, geplak, bakpia, geblek, tiwul, tengkleng, bakmi Jowo, aneka jajan pasar bisa tetap eksis ditengah kepungan resto fast food yang mulai menjamur di jogja. Ya lihat saja para bule yang datang ke Jogja mengkonsumsi makanan tradisional, masa kitanya malah enggak.