Secara umum, kejahatan dibagi menjadi beberapa macam yaitu : kejahatan personal, interpersonal dan kejahatan sosial masyarakat .Secara pidana, ada beberapa contoh perilaku kejahatan: Pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, tindak kekerasan, perampokan, penganiayaan, penyalahgunaan zat dan obat, dan banyak lagi yang lain.
Selain itu juga, perilaku yang disebut sebagai kejahatan jika dipandang dalam perspektif moral yaitu ada 2 : adanya unsur actus reus atau unsur esensial dari kejahatan (physical element) dan mens rea (mental element) yakni keadaan sikap batin atau adanya niat melakukan perilaku kejahatan. (Zainal Abidin Farid, 1995:35).
Contohnya: pencurian disebut kejahatan ketika pelaku telah memiliki niat melakuakan pencurian terhadap seseorang yang memiliki harta berlebih, yang kemudian menyusun pelaksanaan pencurian tanpa paksaan dari orang lain. Jika pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan niatnya terjadi diluar kesadaran, contoh: perilaku kejahatan terjadi pada saat tidur atau tidak sadar, maka faktor mens rea-nya dianggap tidak sepenuhnya dinyatakan sebagai kejahatan, karena orang dengan gangguan mental tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya (Davies, Hollind, & Bull, 2008).
Sigmund Freud dalam perspektif Psikoanalisa memiliki pandangan sendiri tentang apa yang menjadikan seorang kriminal. Ketidakseimbangan hubungan antara Id, Ego dan Superego membuat manusia lemah dan akibatnya lebih mungkin melakukan perilaku menyimpang atau kejahatan. Selain itu, Freud juga menjelaskan kejahatan dari prinsip “kesenangan". Manusia memiliki dasar biologis yang sifatnya mendesak dan bekerja untuk meraih kepuasan (prinsip kesenangan). Di dalamnya termasuk keinginan untuk makanan, seks, dan kelangsungan hidup yang berhubungan dengan pekerjaan yang dikelola oleh Id.
Dari perspektif Belajar Sosial, Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil proses belajar psikologis, yang mekanismenya diperoleh melalui pemaparan pada perilaku kejahatan yang dilakukan oleh orang di sekitarnya, lalu terjadi pengulangan paparan yang disertai dengan penguatan sehingga semakin mendukung orang untuk meniru perilaku kejahatan yang mereka lihat. Dalam perspektif ini, Bandura percaya bahwa manusia memiliki kapasitas berpikir aktif yang mampu memutuskan apakah akan meniru atau tidak mengadopsi perilaku yang mereka amati dari lingkungan sosial mereka.
Teori Sosial menjelaskan bahwa perilaku kejahatan adalah hasil kerusakan sistem dan struktur sosial. Seorang penjahat dari keluarga yang bercerai, mengalami masa kecil yang sulit, hidup di lingkungan sosial yang miskin dan banyak terjadi pelanggaran hukum, tidak memiliki pendidikan yang baik, memiliki gangguan fisik dan mental dan berbagai kesulitan psikososial lainnya.
Pendekatan Bioekologis oleh Urie Brof enbenner, terdapat interaksi faktor personal (si individu itu sendiri, termasuk di dalamnya aspek kepribadian, trauma, aspek biologis) dengan faktor sistem sosial di sekelilingnya. Artinya perilaku kejahatan akan muncul sebagai interaksi antara faktor personal dan faktor lingkungan yang harus dapat diidentifikasi. Contohnya: seseorang yang mengalami pola pengasuhan traumatis dan saat ini hidup di lingkungan yang tidak peduli hukum dapat membuatnya lebih mudah melakukan kejahatan.
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang.Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Kekerasan seksual merupakan  bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara seksual. Kekerasan seksual  biasanya disertai dengan tekanan psikologis atau fisik (O Barnett et al., dalam Matlin, 2008). Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual yang spesifik. Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual tanpa izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik (Tobach,dkk dalam Matlin, 2008)
Akhir-akhir ini Di Indonesia sering terjadi kekerasan fisik baik yang bertujuan untuk mendapatkan apa yang pelaku inginkan atau hanya bermotif pada balas dendam semata. Dari beberapa uraian mengenai jenis-jenis kekerasan yang melibatkan fisik yang akan mengakibatkan seseorang terjerat hukuman. Dalam Essay  ini ingin mengetahui faktor apa saja yang mendorong sesorang untuk melakukan tindakan kekerasan fisik. Sehingga beberapa jenis kejahatan akan dikelompokkan ke dalam kekerasan fisik dan yang tidak termasuk kekerasan fisik.
Dari permasalahan diatas di duga bahwa Umur narapidana ,Lingkungan   tempat tinggal, Status pekerjaan ,Status pendidikan dan Jenis Kelamin akan mempengaruhi seseorang untuk melakukan kekerasan fisik. Dengan melihat Sampel sebanyak 157 narapidana dari populasi narapidana yang dijatuhi hukuman di Kementrian Hukum dan Ham DIY maka Sebagai variabel dependen(respon) dari penelitian ini adalah kasus yang di lakukan narapidana yang disusun menjadi dua kriteria, yaitu kasus kekerasan fisik dan kasus lainnya.
Dengan menggunakan alat bantu statistik yaitu dengan analisis regresi memang benar bahwa variabel-variabel tersebut sangat mempengaruhi seseorang untuk melakukan tidak kriminal terutama tentang kekerasan fisik.
Berikut ini adalah salah satu contoh untuk melihat derajat hubungan antara tindakan kekerasan fisik dengan umur narapidana dapat dilihat dari scatter plot dibawah ini . Dari plot di bawah, terlihat jelas bahwa terdapat hubungan linear antara prediktor kontinu (umur narapidana) dengan variabel tindakan kekerasan
Dengan menggunakan regresi logistik ganda dari semua variabel (umur, tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan ) yang diperkirakan sangat berpengaruh terhadap terjadinya kekerasan fisik pada narapidana adalah pendidikan .Variabel yang paling menentukan terjadinya kasus kekerasan fisik adalah tingkat pendidikan dan tingkat pekerjaan. Semakin rendah tingkat pendidikan narapidana dan tingkat pendidikan narapidana maka probabilitas seseorang melakukan tindak kejahatan dengan kasus kekerasan fisik semakin besar.
Dalam upaya mengurangi kasus kasus pidana  di Kota Yogyakarta terutama kekerasan fisik, perlu bagi pihak pemerintah kota Yogyakarta untuk mengambil tindakan-tindakan atau kebijakan-kebijakan, misalnya melalui pengawasan kualitas lingkungan seperti mengadakan kegiatan positif yang berguna untuk masyarakat dan menambah keamanan di area-area yang diperkirakan  berbahaya, meningkatkan mutu pelayanan terhadap masyarakat serta mengadakan semacam penyuluhan kepada masyarakat ataupun dengan cara-cara yang lain, agar dapat mengantisipasi terjadinya kasus pidana , sekaligus agar dapat menekan angka kejahatan di Indonesia. Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan melibatkan lebih banyak lagi variabel-variabel (faktor-faktor ) yang terkait terhadap terjadinya kasus pidana .