16 Februari 2017 06:12Diperbarui: 28 Juni 2017 21:169930
Bila pengusung ide ini berkomentar tentang Jakarta (diasumsikan bahwa ini adalah wujud kontribusi dan partisipasi postif bagi kemajuan Jakarta), kenapa komentar (kontribusi) hanya ditujukan pada isu Pilkada Jakarta saja. Masih banyak masalah Jakarta, bukan sekedar Pilkada dan konsekuensinya, yang menjadi beban pemerintah dan warga Jakarta. Sikap ini tentunya sarat dengan inkonsistensi, tetapi mengapa bisa terjadi demikian, hipotesisnya adalah karena memang pengusung ide ini biasanya secara tradisional tidak terikat dengan Jakarta, maka ide tentang Jakarta biasanya bersifat skotoma (sesuatu yang hanya ingin ia lihat/bahas), hanyalah hal-hal yang memiliki personal adherence yang terkait dirinya yang mendominasi pengetahuannya. Misalnya, kandidat memiliki kesamaan identitas dengan dirinya, atau menolak kandidat tertentu karena ia memiliki nilai yang berbeda dengan diri sang pengusung ide. Dengan adanya skotoma, maka komentar tentang suatu ide atau masalah lain, hanya akan bersifat parsial, sedangkan ide dan fakta yang lain menjadi kurang penting untuk dimunculkan. Berdebat dengan pengusung ide ini, ibarat upaya untuk menggantang angin, suatu upaya yang sia-sia.
Potensi masalah inkonsistensi kedua terhadap pengusung ide ini adalah bila kerangka komentar yang hendak dibangun adalah “political awareness” dalam bingkai ke-Indonesia-an, mengapa titik berat hanya pada Jakarta, tidak pada daerah yang lain. Apakah Pilkada di Papua Barat, Banten,dan lain-lain tidak lebih penting? Atau bila ditarik lebih lama lagi, kenapa Pilkada Surabaya tidak semenarik ini bagi diri pengusung ide ini ? Hipotesisnya adalah Pilkada di tempat lain, tentunya tidak memiliki personal adherence bagi sang pengusung ide atau setidaknya kurang menarik untuk menggaet jempol dalam linimasa miliknya. Tidak bisa dipungkiri, salah satu penggaet terbesar dalam linimasa akhir-akhir ini di dunia maya adalah segala sesuatu yang mendukung sang kandidat tertentu atau menolak mentah-mentah eksistensinya.
Inkonsistensi ketiga muncul saat pengusung ide ini merasionalisasikan ide ini dengan adagium postmodernisme yang terkenal dalam media sosial, yaitu : "Ini adalah akun media sosial saya, jangan "ikut campur" apa yang saya tulis." Pada faktanya, ia sedang mengomentari sesuatu hal yang bisa dibilang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan dirinya secara pribadi.Adanya potensi logical fallacy dan kendala inkonsistensi empirik inilah, membuat pengusung ide ini akhirnya membingkai dirinya pada kelompok kategori "misinformed" dan melepaskan dirinya dari potret seorang "general". Dengan demikian, sulit untuk menemukan motif yang murni memihak pada kebangsaan pada pengusung ide ini. Mereka perlu berupaya keras untuk membuktikan bahwa Pilkada DKI adalah bukan tentang personal adherence-nya, alih-alih berkontribusi bagi kepentingan Jakarta atau kepentingan nasional.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.