Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Tunjukkan Cintamu pada Mereka Selagi Bisa

12 Oktober 2010   04:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:30 165 0

Membaca novel ‘For One More Day’-nya Mitch Albom--yang berkisah tentang penyesalan seorang anak saat ibunya yang tak pernah ia hargai secara layak selama hidupnya, meninggal--mengingatkanku kembali akan hal-hal yang paling penting dalam hidup. Rasanya seperti wajahku secara lembut dipalingkan untuk melihat kembali hubunganku dengan orang tuaku sendiri. Rasanya ingin menangis seketika dan berlari pulang ke pelukan ibu-bapakku saat itu juga. Rasanya ingin menangis tersedu-sedu di pangkuan mereka, meminta maaf atas pengabaianku selama ini dan atas betapa aku tak pernah berterima kasih pada mereka secara layak untuk apa yang telah mereka lakukan padaku seumur hidupku. Aku takut mengalami nasib seperti Charley dalam novel itu yang tidak pernah sempat menunjukkan betapa ia sesungguhnya sangat mencintai ibunya, selagi ia masih hidup.

Standar-standar masyarakat saat ini telah membuatku fokus pada hal-hal artifisial seperti gelar akademis, pekerjaan, kendaraan, rumah, dan sederet hal-hal yang bersifat materi lainnya selama bertahun-tahun. Aku telah merasa cukup berbakti hanya dengan mengirimi sejumlah uang kepada bapak dan ibuku setiap bulan dan melakukan beberapa kunjungan singkat ke rumah mereka, tempat aku dibesarkan, dalam satu tahun. Di luar itu, aku tidak begitu sering memikirkan mereka. Jika mereka tidak menghubungi aku, aku pikir semua baik-baik saja. Padahal aku tahu persis bapak dan ibuku bukanlah tipe orang tua yang suka merengek meminta bantuan anak-anaknya jika mereka menghadapi kesulitan. Bahkan saat mereka beberapa kali sakit parah pun, mereka tidak mengabari kami anak-anaknya karena takut merepotkan dan mengganggu kesibukan kami. Aku biasanya baru tahu setelahnya, setelah mereka sembuh dari sakit, dan aku biasanya agak protes saat itu karena tidak dikabari kalau mereka baru saja sakit. Sebenarnya tentu saja kesalahan ada padaku yang jarang bersilaturahmi dengan mereka, padahal jarak dari rumahku ke rumah mereka hanya sekitar tiga jam, dan alat komunikasi pun sudah sedemikian canggih sehingga sebetulnya aku bisa menghubungi mereka lewat telpon atau SMS kapan pun aku mau.

‘Sibuk’, itulah kata yang diyakini orang tuaku sebagai alasan mengapa aku jarang bersilaturahmi dengan mereka. Kata itu pulalah yang mereka berikan saat tetangga atau saudara menanyakan kepada mereka mengapa aku jarang terlihat di acara-acara keluarga di sana. Padahal sebenarnya tentu saja bukan itu alasannya karena pekerjaanku tidak sedemikian menyita waktuku seperti yang bapak-ibuku pikirkan. Sejujurnya, aku sesungguhnya juga bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku tidak begitu sering ingin mengunjungi, menelpon, atau meng-SMS mereka. Mengapa aku lebih akrab dengan teman-temanku ketimbang mereka.

Sudah lama aku mencari jawabannya, namun sepertinya baru kali ini, setelah membaca novel Mitch Albom tadi, aku menemukan secercah jawabannya. Aku tidak pernah benar-benar memikirkan secara mendalam apa saja yang telah orang tuaku lakukan untukku sehingga aku tidak pernah begitu menghargai mereka. Mereka tidak pernah terasa begitu penting bagiku karena aku mendapatkan mereka tanpa bersusah payah dan karena aku merasa bahwa mereka akan selalu ‘ada di sana’ untukku.

Tapi lewat novel ini aku diingatkan bahwa tidak, mereka sebenarnya tidak akan selalu ‘ada di sana’ selamanya. Suatu saat mereka tidak akan ‘ada di sana’ lagi. Aku tidak pernah ingin mendengar kalimat yang disebut Mitch Albom berisi kata-kata yang tidak pernah ingin didengar siapapun dalam hidupnya sebelum aku benar-benar bisa menunjukkan betapa besar cintaku pada mereka. Tidak, sebelum aku merasa telah maksimal berbakti pada mereka, aku tidak pernah ingin mendengar kalimat “Ibumu meninggal” atau “Bapakmu meninggal” karena aku tahu tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi keduanya dalam hidupku sampai kapan pun juga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun