Kartini dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 21 April 1879. Namun, di daerah yang sama, jauh sebelum R.A Kartini muncul dengan gagasan-gagasan emansipatifnya, dua orang wanita perkasa juga muncul di sana. Mereka adalah Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat. Ratu Shima pernah memerintah Kerajaan Kalingga di Jepara pada sekitar abad VII M. Sedangkan Ratu Kalinyamat berkuasa antara tahun 1549 hingga 1579. Keduanya memerintah dengan penuh dedidaksi dan ketekunan, sehingga mengantarkan Jepara pada golden age di zamannya masing-masing.
Pada saat Shima berkuasa, masyarakat mengalami kemajuan dalam bidang perekonomian. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang bersifat dasar maupun penunjang tercukupi dengan baik. Mereka mencapai kemakmuran secara ekonomi. Bahkan karena makmurnya, tak seorangpun dari mereka tergiur untuk mengambil barang-barang milik orang lain.
Terkait dengan hal ini dikisahkan bahwa pada suatu hari, Shima mengadakan “ujian moral” untuk rakyatnya dengan menebarkan emas di jalan-jalan umum. Dan ternyata tak satupun di antara mereka mengambil emas-emas itu. Ironisnya, salah satu keluarga kerajaanlah yang justru mengambil harta tersebut. Hukum pun ditegakkan. Sang pencuri, meskipun berasal dari keluarga istana, mendapatkan sanksinya dengan menjalani sebuah vonis hukuman.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa masyarakat pada waktu itu mempunyai loyalitas dan moralitas yang tinggi. Supremasi hukum dapat ditegakkan dengan baik tanpa pandang bulu. Dan itu tidak terlepas dari peran pemimpinnya, Ratu Shima. Shima memerintah kerajaannya dengan penuh keuletan, kewibawaan, dan ketegasan.
Beberapa abad kemudian, Ratu Kalinyamat tampil dan memegang kekuasaan atas wilayah Jepara. Putri Sultan Trenggono ini menerima mandat dari sang ayah yang merupakan pemimpin Kerajaan Demak. Kematian sang suami—Sultan Hadirin—tidak lantas membuatnya berlarut-larut dalam kesedihan. Dengan ketabahan yang dimilikinya, dia akhirnya bangkit dan memimpin Jepara dengan penuh ketekunan dan wibawa.
Di bawah pemerintahannya, Jepara berkembang menjadi pusat perdagangan. Ini terlihat dari aktivitas-aktivitas perdagangan yang ramai di Pelabuhan Jepara. Selain itu, kesenian dan kerajinan ukir—yang sekarang menjadi tulang-punggung perekonomian Jepara—mulai tumbuh dan berkembang. Dalam bidang pertahanan dan keamanan, Kalinyamat pernah beberapa kali mengirim armada laut untuk mengusir tentara Portugis dari Malaka.
Tiga abad setelah Kalinyamat wafat, R.A. Kartini hadir dengan ide-ide mengenai perlakuan yang lebih adil, setara, dan bermartabat atas perempuan. Dia “menggugat” dan “memberontak” atas tradisi yang memperlakukan perempuan secara sewenang-wenang. Meskipun secara fisik badannya terkurung di dalam kokohnya tembok istana, namun gagasan-gagasannya menyeruak dan tersebar hingga ke Eropa. Secara ragawi dia terbelenggu, namun pikirannya sangat merdeka. Untuk sebuah gagasan besar bernama “emansipasi wanita,” dia adalah martir dengan menjalani pingitan, tidak bisa bersekolah, serta menjadi isteri keempat dari seorang laki-laki yang bukan pilihannya.
Shima, Kalinyamat, dan Kartini merupakan representasi wanita yang tangguh, berani, serta berpikiran luas dan visioner. Atas masing-masing peran yang dimiliki, mereka menjalankan secara tekun dan maksimal. Segala laku, jasa, dan pemikiran-pemikirannya didedikasikan untuk kemajuan masyarakat. Mereka telah terbukti sanggup mengendalikan dan mengarahkan masyarakatnya, serta mengilhami banyak orang dalam perjuangan meraih keadilan dan kesetaraan bagi perempuan. Mereka adalah tipe perempuan-perempuan perkasa dari Jepara. [*]