Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tanda?

31 Maret 2013   10:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:57 182 1
Setiap orang pernah menemui kebuntuan dalam hidupnya. Kebuntuan atas harap, kebuntuan atas rasa ingin tahu yang seolah seperti gayung yang mustahil bersambut. Karna tak kunjung menemukan jawaban yang memuaskan. Saat itulah tanda tanya mulai mengambil alih seluruh pikiran kita. Sibuk menduga-duga. Sibuk mencipta kalimat tanya. Otak kita tiba-tiba mempunyai joblist baru. Mesin produksi kalimat tanya plus jawabannya.

'Karena sadar atau tidak, setiap manusia pernah mengalami masa di mana tanda tanya memenuhi seluruh otaknya, membuat penuh isi kepala tanpa mampu dilahirkan mulut dalam wujud suara,'

Mengapa ada manusia yang pada akhirnya memilih menjadikan tanda tanya hanya sebatas mahkota di kepala? Atau hanya berakhir sebagai simbol-simbol untuk memenuhi otak saja? Setiap manusia mempunyai alasan yang berbeda.

Begitu pula denganku. Aku pun memiliki alasan tersendiri.

***

Mengapa aku dihadirkan hanya untuk kemudian susah payah disingkirkan?

Bertahun-tahun kubiarkan kalimat tanya itu menjamur di kepalaku. Mengabaikannya terkikis waktu. Sampai suatu hari seseorang bertanya padaku. Tanya yang kemudian memunculkan lebih banyak lagi kalimat tanya di kepalaku.

"Bagaimana rasanya kondangan di nikahannya mantan?" Tanya kawanku.

Aku tersenyum kecut.

Aku tak mampu menjawab dengan lugas dan jelas. Aku hanya bisa bercerita sedikit. Sebatas prolog dan epilog. Setelahnya, akan kusilahkan kawan itu untuk menentukan sendiri jawaban terbijak atas kalimat tanya yang dia lontarkan.

***

Trrrtttt...

Hp bergetar tanda sebuah pesan berhasil menerobos inboxku.

"Benarkah ini si cantik, cucunya si ganteng?"

"Ya, benar. Ini siapa yah?" Tanyaku penasaran, karna si pengirim sms itu kenal simbahku.

"Saya fulan."

Aku masih terbengong. Berusaha berpikir. Di desaku nama itu cukup pasaran. Maka akhirnya kuputuskan untuk bertanya lagi.

"Fulan mana?"

"Saya fulan, kakaknya fulanah."

Ooo...

Aku sudah mulai sedikit paham dengan situasi itu. Penjelasan fulan di sms-smsnya cukup membantuku. Ditambah lagi salam-salam yang disampaikan adiknya semakin membuat benderang perasaannya padaku.

Singkat cerita. Kuncup-kuncup bunga setaman berpindah lokasi. Kini hatiku serupa taman gantung Babilonia. Indah dipandang dari arah mana saja.

***

Namun, siapa bilang badai hanya bisa terjadi di tengah ganasnya lautan. Atau di bekunya musim salju yang membuat badan gigil, bibir membiru. Badai bisa saja terjadi kapan saja. Tak kenal musim. Tak kenal tempat. Sepert badai yang tengah menghantam taman bungaku kali itu.

Penyebabnya simple. Ada dua taman yang tengah disemai si fulan secara bersamaan.

Taman yang disemai duluan cepat atau lambat pasti menuntut haknya.

Dan benarlah. Meski tak secara langsung, meski meminjam mulut orang lain aksi menuntut hak itu pun akhirnya terjadi juga.

"Kak fulan lebih dulu menyemai bunga di taman itu. Bahkan dia telah akrab dengan seluruh penghuninya." Begitu kata si fulanah memintaku mundur secara halus.

Aku terbengong. Sedikit tak paham dengan dramatisasi yang tengah terjadi. Sebab tak ada segel yang jelas dalam hubungan kami.

***

Seperti kalimatku di awal. Kisah ini tentang kalimat tanya yang menguar di kepala tanpa sempat terlahir dalam wujud suara. Aku cukup memuaskan diri hanya dengan duga.

Mengapa aku dihadirkan hanya untuk kemudian susah payah disingkirkan?

Tidakkah ini seperti sebuah lelucon?

Aku tak memerlukan jawaban. Biarlah kalimat tanya ini menggantung di atap-atap kepala dan berakhir di recycle bin yang tersedia di otak saja. Karena terkadang kalimat tanya, tak terlalu penting untuk dicari tahu jawabannya.

-Kota tersibuk sedunia, Brain City-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun