Dusun Serambi yang beberapa tahun lalu dilanda konflik kini kembali hangat. Bukan karena riak kaum militan, namun picu berasal dari penetapan simbol dusun. Ya, istimewa sekali hingga dusun berstatus khusus ini mendapat hak untuk memiliki bendera ‘pribadi’. Bendera yang bisa saja menduakan sang saka. Entahlah.
Akupun sebelumnya acuh pada berita bendera ini. Apalah arti simbol, tak perlu diributkan, pikirku. Toh, tidak ada ancaman fisik yang menggoyang stabilitas desa. Aku hanya bernegasi bahwa, mungkin saja hanya mencari sejumput perhatian, menegaskan bahwa ‘kami anak emas’.
Namun, aku memicingkan mata oleh sebait artikel di portal berita terbesar desa, mataangin.com. Disana tertulis, berdasarkan perjanjian dahulu, secara defacto Dusun Serambi berstatus merdeka. Sontak akupun berubah. Dari sebelumnya acuh menjadi tak acuh. Muncul keingintahuan pribadi, bagian manakah yang mereka sebut merdeka?
Menggingat aku yang memiliki ketertarikan di bidang keuangan desa, mulailah kubuka lembaran mengenai data-data keuangan dusun serambi.
Menarik untuk dicermati. Ketika data kubuka, muncul rasa muak. Betapa tidak, mereka yang merasa merdeka secara de facto namun pendapatan asli dusun (PADu) bahkan tidak mampu menutupi belanja pegawai dusun. Menurut data resmi, PADu tahun ini kurang dari 1T, padahal belanja pegawai dusun mencapat 1,6T (T merupakan mata uang ‘pribadi’ dusun).Padahal, konon katanya dusun ini dahulu dikabarkan memiliki SDA yang melimpah ruah.
Angka lain yang menarik disimak adalah total anggaran belanja dusun tahun ini. Dusun Serambi memiliki anggaran sebesar 11,7T. Besar sekali. Namun sayangnya lebih dari 50% didanai oleh dana desa. Dana yang bernama otsis (dana otonomi spesials) yang besarnya mencapai 6,6T. Ironi dipersimpangan data. Jika ingin lebih dalam lagi, kita bisa membandingkannya dengan dusun andalas utara yang berbatasan langsung dengan dusun serambi.
Dengan luas dusun yang lebih kecil (0,7 kali) dan total penduduk yang hanya 40% dari dusun andalas utara, anggaran belanja dusun serambi lebih besar (11,7T) dibanding dusun andalas utara yang ‘hanya’ 8,8T. Mau tahu berapa dana yang dialokasikan desa ke dusun andalas utara ini? Cuma 1,3T! Bandingkan dengan total dana alokasi (otsis +dau+dak) dari desa ke dusun serambi yang mencapai 9,3T! Fantastis. Dapat dikatakan bahwa Desa menanggung hampir 80% anggaran belanja dusun serambi. Fuih. Ketergantungan ekonomi terhadap desa, jelas menegaskan bahwa dusun ini belum merdeka secara ekonomi.
Kenapa desa bisa sebaik ini? kita memang perlu melihat kembali sejarah. Apa yang tertuang di prasasti perjanjian angara desa dan Dusun Serambi untuk mengakhiri konflik. Memang dibenarkan oleh perjanjian tersebut bahwa desa wajib ‘membayar biaya perang’ berupa otsis selama 20 tahun yang diambil dari 2% DAU desa setiap tahunnya. Bahkan, diperkirakan total otsis akan mencapai 100T untuk pemulihan dan pembangunan pasca perang.
Dana besar dari desa bisa jadi menimbulkan masalah. Masalah terlihat saat persentase pertumbuhan PADu yang buruk di Dusun Serambi. Dalam lima tahun terakhir (2008 – 2012) pertumbuhan PADu hanya sebesar 2%. Bahkan secara persentase terjadi penurunan kontribusi PADu terhadap anggaran belanja dusun di tahun 2011 (7%). Terlihat bahwa moral hazard dari otsis telah membuat disinsentif dusun untuk menggenjot pendapatan daerahnya.
Saya pun akhirnya bertanya, kenapa demikian, terasa tidak adil kah? Celetuk pahit dari teman membuyarkan pikiranku, “ yah namanya juga daerah khusus, ya harus istimewa dong”. Liat saja ibukota desa dan dusun burung.
Pemberian dana ini jelas bisa menimbulkan kecemburuan dan kerawanan antar dusun. Cemburu. Tak perlu pembandingan data lagi, sudah jelas bahwa ketimpangan anggaran Dusun Serambi terhadap dusun lain sangat tinggi. Rawan, bisa diartikan dengan munculnya riak di dusun lain. Layaknya dusun serambi, dusun lain pun bisa saja berpikiran, “buat saja konflik yang menuntut kemerdekaan, nanti kita bisa dapat dana otsis yag besar loh”.
Kembali pada artikel yang menjadi pacu igauan ini. “Merdeka secara de facto? “ jelas bahwa klaim tersebut akan menyakiti hati banyak orang, terutama dusun-dusun lain. Menyulut sumbu dan menghangatakn tensi yang memicu konflik adalah tindakan yang tidak bijaksana. Harusnya masyarakat dan pengurus dusun sadar bahwa ekonomi dusun serambi masih sangat bergantung pada desa. Bukan berarti menakuti. Namun, sekali konflik kembali terjadi dan desa menutup keran dana, caos pun pasti terjadi.
Memang benar bahwa sejarah akan berbicara bahwa desa wajib memenuhi tuntuan ekonomi Dusun Serambi. Namun, jangan lah memunculkan keegoisan dan kesombongan dusun serambi yang dengan bangga menyelingkuhi sang saka tercinta.
Disclaimer : tulisan ini hanya fiktif belaka. Jika terdapat kesamaan nama dan data, percayalah bahwa itu hanya kebetulan belaka.
Muhammad Edo Irfandi
Depok, April 7, 2013