Hari tadi saya dan seorang kawan (sekantor, seangkatan) bertandang ke salah satu SMA. Biasalah, masalah pekerjaan. Tinjau-meninjau.
Berniat wudhu untuk shalat zuhur di mushalla sekolah ybs, tiba-tiba saya merasa kepingin pipis. Di tempat wudhu, saya bertanya kepada seorang siswa yang tetiba tampak.
Saya : "Dek, WC-nya dimana ya?"
Siswa : "Oh, di sanaom. Gedung sana ituom. Pas di tengahnya ituom."
Saya : "Oh, iya. Jauh ya, haha."
Kawan saya : "Bwakakakakakakaakaka"
Saya dipanggilom. Tiga kali. Sakitnya tuh di sini.
Di usiaku ini,twenty fourth of my age, saya masih merasa belia laksana mahasiswa yang baru setahun-dua menjalani kuliah. Masih (memaksakan diri) berbangga hati menjadiabang-abang mahasiswa ganteng. Padahal kenyataannya sudah tiga tahun yang lampau saya diwisuda.
Kawan-kawan seangkatan di kantor, di media sosial, dimana-mana sepertinya kena sindrom yang sama. Tak sudi dipanggil om. Panggil abang atau kakak saja. Masih muda ini.
Padahal penampilan sudah berubah. Beberapa tahun lalu, rumusdress codeya begini:
ngampus = kaos distro + kemeja kasual + celana jeans + sweater + sepatu kets + gelang tribal
Sekarang ya kelihatan jelas adanya revolusi fesyen:
ngantor = kemeja polos + celana bahan + jam tangan swiss army + sepatu kulit mengilap
Terlihat kan perubahannya? Yang gak bisa lihat, kelewatan. Bacanya.
Menurut saya, adanya perubahan ini bersumber dari pengaruh lingkungan pergaulan. Di kantor (saya), bapak2 usia 42 tahun nyambung2 saja ketawa-ketiwi dengan saya yang usia 24. Selera humor antara generasi berbeda satu, dua atau tiga dasawarsa bisa serupa. Meskipun memang ada tata kramanya sendiri, boleh dikatakan dalam lingkungan yang sama setara, beda usia tidak  jadi masalah untuk yang muda menggauli yang tua. Pun yang tua menggauli yang muda.
Coba bandingkan. Lihat waktu anda ke belakang. Gaul ala anak SD dan gaul ala anak SMA saja beda jauh. Padahal selisih usia Cuma 3-6 tahun saja. Lingkungannya beda, cara gaulnya juga beda.
Karena saya terbiasa berada di lingkungan om2 beraneka usia dari 20an, 30an, 40an hingga 50an, maka secara tidak sadar saya beradaptasi untuk berpembawaan seperti beliau2 yang sudah lebih dulu ada di kantor. Jadilah saya salah seorang dari mereka. Om-om. Di mata anak-anak SMA. Cih.