Terlepas dari perkara gerimis yang tidak mau meronta, rencana awal pertemuanku dengan Linda tidak akan berubah.
Setelah siap dari dandanannya, dia keluar dari gerbang kost.
"Mau kemana kita?" tanya Linda.
"Tempat biasa"
"Yang biasa mana lagi ini? Jangan ke tempat aneh-aneh."
"Nggak mungkinlah, ke kafe yang di Setiabudi."
"Sekalian aja ke Dr Mansyur kalau gitu, ke sana aja," kata Linda memintaku untuk mengubah tempat yang aku tawarkan.
"Ada apa di sana."
"Siapa tahu berubah pikiran kau pas lihat USU," katanya sebagai pesan pengingat bahwa perkara kepergianku ke Malang adalah topik yang harus dibicarakan.
Kegelapan sore menyapu jalanan Medan yang lembab. Segalanya terasa luar biasa.
Tiga puluh menit kami merangkak dari motor di atas kepadatan orang-orang. Selama ini, aku pun merenungkan bagaimana nanti Linda menanggapi hubungan kami.
Sebuah kegundahan yang benar-benar menggangguku, bagaimana mungkin aku harus meninggalkannya yang begitu manis? Baginya, saat ini hubungan kami seperti permainan. Pikiran ini menggangguku.
Firasat itu sangat jelas. Perkiraannya dimulai dengan kemungkinan dia memberikan kekecewaan. Dia menganggap aku memberi tanda-tanda. Pergi ke luar kota tanpa pemberitahuan. Ini upaya melarikan diri.
Linda tidak harus memberi persetujuan, tetapi setidaknya dia harus mengetahui sejak pertama aku memasukan Brawijaya ke kampus pilihan.
Pikiranku yang hanyut kembali ke dasar arus. Cuaca sangat dingin. Linda turun dan bergegas mencari tempat duduk untuk kami, menjauh dari gemercik hujan.
"Aku harus pergi. Mungkin kau kecewa?" kataku membuka pembicaraan.
"Kecewa? Nggak lah. Kau sendiri yang pilih ini."
"Mantap. Kau paham juga. Aku kira kau bakal marah."
"Nggak juga. Kecewa sama marah ada, tapi kau bakal tahu hal begini di hidup selalu ada konsekuensi. Aku udah biasa hadapin hal ginian," balas Linda.
Segalanya berjalan baik. Aku berpikir, semuanya jauh dari apa yang aku bayangkan sebagai hal buruk.
"Aku mau kita tetap komunikasi. Biar jauh, gak harus putus hubungan kan?" kataku meminta kepadanya
"Kau tahu..."
"Gak..."
"Bukan itu maksudku. Kau pikirannya dewasa. Aku bangga kenal samamu. Ya, memang hubungan spesial antara guru dan murid itu aneh."
"Hubungan kita? Jelas lah itu salah."
"Menurutmu, kita salah?"
"Salah sekali."
"Kau ngerasa salahnya dari kapan?"
"Dari awal. Aku suka sama guru, terus dia juga suka. Aku tahu itu aneh. Keputusan benar, cuma salah di sisi lainnya."
Linda tersenyum.
"Jawabanmu bijak, tapi buat bingung. Cepat kali kau jadi pria dewasa."
"Nggak lah, aku masih muda. Apa yang kubilang cuma omongan biasa. Pengalaman belum tentu."
Linda memberikan senyuman. Bagiku, itu adalah kebiasaan sebagai keceriaan yang biasa ia tunjukkan setiap hari. Aku tidak pernah merasa lebih baik dibanding memandang dia yang tersenyum.
Mengira ini berhasil, semuanya tampak menerawang ke langit, seolah-olah mendung menawarkan arah yang menyedihkan.
"Aku kira hubungan kita harus lebih serius," kataku kepadanya.
Linda mengernyitkan dahinya. Dia tidak menyukai ucapanku yang begitu spontan.
"Anak muda. Saat kau memutuskan hal besar, coba tenangkan diri."
"Tenang? Basi. Mau berpikir tenang atau nggak, hasilnya pasti akan sama."
"Tapi, ucapanmu tadi itu janji. Kalau kau nggak bisa kau tepati, maka selamanya kepercayaanku hilang samamu."
"Okelah, agak horor. Jadi..."
"Jalani aja dulu."
Mulai saat itu, kami memulai lagi babak baru. Kami menjalaninya dengan baik.
Sesampainya pun di Malang, aku terus menepikan semua kesepian dengan mengingatnya sepanjang hari. Itu adalah salah satu cara mengapa aku tersenyum melewati hari-hari menegangkan sebagai mahasiswa baru.
Setidaknya, aku masih sanggup bertahan meski setiap pandangan yang aku lihat di sekitar kampus lebih berat untuk membuatku tergoda.