Seisi ruangan bagai pemakaman, semua pasang mata memandangiku. Meski hanya sekejap, cahaya seperti memekat, redup beberapa saat. Ada yang segera memalingkan wajah. Aku sempat berhenti, membalas pandangan mereka. Tak ada waktu lagi, aku melanjutkan langkah kakiku. Dobri menghampiriku. Perasaanku semakin risau setiap langkah dia mendekat. Kumis tebal itu menambah cukup banyak  aura duka wajah datarnya. Di sini, kami semua berlima, berdiri kaku. Pandangan mereka, aku anggap saja pelipur lara dalam kebosanan. Itu semua tidak berarti apa-apa.
KEMBALI KE ARTIKEL