Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Artikel Utama

Tak Kenal Maka Taaruf, Lebih Dekat dengan 100-0-100

15 Mei 2015   23:21 Diperbarui: 29 Juni 2015   12:35 261 4

Saya pernah membaca laporan di sebuah koran lokal yang meliput tentang  masalah pemukiman di  Bandung. Sempat tercengang waktu dibilang kalau  kawasan terpadat  di dunia itu ada di Bandung.  What?  Bandung? Iya, bukan di Rio de Janeiro atau  New Delhi. Bukaaaan.  Ini ada di Bandung.  Sedihnya lagi  kawasan terpadat  itu ada di kecamatan tempat saya tinggal, Bandung  Kulon. Masih ada 2 kecamatan lagi yang terbilang padat, ada kecamatan  Kiaracondong dan satu lagi ada kecamatan Cicadas.

Bayangin aja, tingkat kepadatannya  mencapai 13.000 jiwa per km persegi. Dan menurut  sumber  yang saya baca,  enggak ada daerah lain yang kepadatan penduduknya seperti  ini.  But please note, ini berita  tahun 2009. Mudah-mudahan sudah  berubah, seenggaknya udah ga sepadat  itu. Meski semakin ke sini  saya merasa  jalanan menuju pulang ke rumah semakin macet saja.

Beberapa kawasan  kelurahan yang ada di sekitar tempat saya tinggal memang masih padat. Gang 1000 punten,  gang senggol istilah yang dberikan oleh teman saya dulu. Saking banyaknya  tikungan yang harus dilalui.  Lebar gang yang sempit di mana biasanya ada ibu-ibu  atau mbak-mbak yang lagi asik nongkrong dan ngerumpi. Entah ngerumpi apaan. Mungkin harga sayuran yang lagi mahal,  siapa  yang  belum bayar arisan, ngajak ngebakso yang enak, sinetron yang lagi  seru-serunya di tv dan rumpian khas ibu-ibu lainnya.  Biasanya untuk di kawasan padat seperti ini ada beberapa ruas  yang hanya muat satu  motor agar  bisa lewat.    Kalau memerhatikan  tata letak rumah di kawasan itu pun ventilasinya tidak sehat karena  letak rumah tidak beraturan.

Dalam beberapa  kasus kebakaran  yang pernah terjadi di beberapa  tempat (seperti jalan Arjuna  tuh, dari sejak  jaman saya SMA sering banget kebakaran),  yang saya perhatikan  adalah  letak rumah yang sangat berdempetan, memudahkan si jago merah loncat dan melalap apa pun yang dilaluinya.

Sampah yang pernah ditemukan di sungai ini  bukan cuma kantong keresek atau bungkus bekas kemasan, tapi pernah ditemukan kasur, bangkai sapi dan bangkai kambing. Entah apa yang terjadi dengan  dua mahluk malang  ini, sampai-sampai bangkainya pun berakhir di sini.

Dalam keterangannya, Pak Muharram menceritakan kalau tingkat pencemaran  di sungai Cikapundung ini ada di grade  4, artinya bukan cuma ga bisa diminum, mencuci baju atau mandi  (seperti jaman-jaman dulu  semua kegiatan ini bisa dilakukan di sungai yang sama), ikan pun bakalan mati  kalau dipiara di sini. Eh tapi mudah-mudahan upaya perbaikan  yang sedang digencarkan pemerintah  kota  Bandung  bisa memperbaiki kualitas air, seenggaknya  tingkat pencemarannya bisa naik satu strip jadi tingkat 3 dan naik lagi. Aamiin.

As we know,  kalau yang namanya air minum adalah kebutuhan pokok. Enggak boleh enggak. Kadang suka sedih kalau melihat air  meluap ketika banjir, duh bisa enggak ya dimanfaatin  biar ga mubazir? Gimana cara ngolahnya?

Pertanyaan  lama yang sempat mengusik saya akhirnya mendapatkan jawaban. Hari kamis 7 Mei  2015 kemarin saya dan teman-teman Kompasiana  Bandung mendapat kesampatan untuk mengikuti acara Kompasiana Nangkring: “Dukungan Inovasi Teknologi Bidang Pemukiman 100-0-100".

Nah,  seperti judul yang saya kasih di artikel  ini, kalau enggak ngeh, ya kenalan, dong.   100-0-100 adalah nama dari akselerasi program yang diluncurkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puskim), Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) yang sudah diperkenalkan sejak  tahun 2014.

Diberi nama  100 - 0 – 100, sebagai  program  Kementerian PUPR  yang ingin dicapai  dalam periode 2015-2019 untuk mewujudkan 100% Akses Air Minum, 0% Kawasan Kumuh, 100% Akses Sanitasi.

Untuk Sesi pertama yang di Bandung, saya menyimak paparan dan  tanya jawab  yang menghadirkan Iwan Suprijanto, ST, MT sebagai Kepala Bidang Program dan Kerjasama, Ir Buidono Sundaru, perekayasa  Rumah  Instan Sederhana Sehat dan  bapa Sarbidi ST, MT, Peneliti  Bidang Air Minum & Penyehatan Lingkungan (AMPLP)  yang sekaligus memandu  dan meninjau  pengolahan subreservoir  di Graha Wiksa Praniti.

100% Akses Air Minum

Air minum, ah ini  sih tidak  boleh tidak.  Yang namanya lapar  masih bisa ditahan, tapi kalaku haus? Untuk ukuran normal saja kita butuh sekitar  8-12 gelas air  minum. Tapi tentu saja tidak sembarangan air  minum, harus  yang sehat dan higienis.  Sementara kondisi air  tanah di Indonesia sudah  banyak yang tercemar.  Salah satu teknologi yang dimiliki oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR)  antara  lain adalah Instalasi Pengolahan Air Sistem Mobile, Instalasi Pengolahan  Air Sistem Portable, atau Instalasi Pengoolahan Air Merotek yang mengolah air sungai menjadi air yang layak untuk di minum. Salah satunya adalah  project pilot yang  kami kunjungi  di Sumedang.

Yang menarik  perhatian saya adalah ide  rumah RISHA, singkatan  dari Rumah Instan Sehat Sederhana  yang dibuat dengan sistem knock down, mengusung  konsep  unik, BMW.  B maksudnya  rumah  RISHA  terjangkau  Biayanya,  lalu M untuk mutu yang terjamin dan W untuk waktu pengerjaaan  yang singkat. Pesan Pagi  sore jadi.  Mirip konsep rumah lego, gitu. Meski  begitu,  enggak  berarti  kalau kita pesan  hari ini besok siap huni juga,  sih, Soalnya harus ada beberapa bagian  yang dipasang juga. Tapi dibanding proses  pembuatan rumah konvensional, RISHA  ini memang lebih efisien dari segi  waktu dan  dana.

Sebagai  gambaran lebih  iritnya punya rumah model RISHA, dengan tipe  36, dibutuhkan sebanyak  246  panel yang bervariasi  dari 3 jenis panel P1, P2, P3. Untuk panel 1 costnya  sebesarRp. 110.000, panel 2, Rp. 100.000 dan panel 3 Rp. 90.000.

Gitu aja? Eits,  jangan lupa selain panel dan beberapa bagian lain harus dibutuhkan, untuk memiliki RISHA  tetap harus punya IMB juga, dong.  Sebagai warga negara  yang baik,  untuk yang satu ini jangan samapai terlewatkan buat diurus, ya.

Aplikasi rumah  ini sudah diaplikasikan di Nangroe Aceh Darusalam sebanyak 10.000  unit  rumah pasca  musibah Tsunami. Selain di NAD, juga diaplikasikan untuk bangunan lain seperti  rumah sakit, puskesmas,  tempat  ibadah dan bangunan  lainnya. Daerah lainnya  yang sudah mengadopsi  teknologi RISHA  ini antara  lain  di propinsi Jawa  Barat,  Kepuluan Riau, Sumatera Barat, dan DKI Jakarta. Nah kalau di Jakarta, bisa  tuh kunjungi  Kampung Deret  yang sudah mengaplikasikan teknologi RISHA  ini.

Mengikuti standar WHO  untuk bangunan yang layak huni,   maksimal untuk 1 unit  RISHA adalah tipe  72 dan tidak boleh  lebih tinggi dari  2 lantai. Semetara  untuk  ukuran terkecil, standarnyaa dalah 3x3x3. Maksudnya  Panjang 3 meter, lebar 3 meter dan  tinggi 3 meter.  Cincai, cukup deh  buat ukuran tinggi badan orang  Inonesia, ya. Selain itu rumah RISHA  juga sudah punya hak paten dan merk dagang!  Jadi, enggak  bakalan tuh diklaim sama  orang  lain yang ngaku-ngaku. It’s originally made in  Indonesia.

Serius buatan Indonesia? Iya, bener. Di Indonesia sudah ada sekitar  67  aplikator  workshop yang terdapat di Padang Pariaman, Bogor, Bandung dan Sumedang.  Seperti yang ada di Desa  Sindang Pakuon, kecamatan Cimanggung, Sumedang, ada satu workshop  yang memperkerjakan tenaga lokal  sebanyak  8 orang yang didukung perguruan tinggi terkemuka dari Bandung seperti UNPAD dan UNPAR. Menurut Pak Rahmat (pemimpin workshop di sini), budget untuk 1 workshop sekitar 250-300 juta minus tanah. Anggaran dananya sudah diatur puskim. Jadi mau bikin di mana aja,  budget yang sudah ditetapkan bakalan sama.

Namun, RISHA  ini bisa terganjal beberapa  kendala untuk bisa direalisasikan. Misalnya saja hantu inflasi  yang bisa  membuat calon pembeli  mundur teratur  untuk mengajukan kepemilikan rumah ini. Suka atau tidak, yang namanya inflasi, boro-boro buat beli rumah,  kenaikan  harga untuk kebutuhan  hidup sehari-hari saja masih  jadi  PR  pemerintah untuk terpenuhi. Belum lagi pihak perbankan  yang belum berani  untuk mengucurkan bantuan kredit kepemilikan RISHA.  Jadi, selain  rakyat,  pengembang,  pihak peyandang dana  juga perlu mendapatkan edukasi agar  hak rakyat untuk mendapatkan rumah  sebagai  kebutuhan pokok bisa terpenuhi. Sesuai  dengan UUD RI 1945 amandemen Pasal 28, Ayat 1. Salah satu poinnya adalah  terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal yang layak.

100% Akses Sanitasi

Rumah sehat, ok.  Air minum sehat, dapat. Eh jangan lupa  juga soal sanitasi. Lingkungan tempat tinggal  yang tidak memenuhi standar rumah sehat  bisa jadi perantara  berkembangnya penyakit.  Masih ada lho di daerah  yang  warganya lebih suka menggunakan MCK  bersama , kondisi WCnya yang tidak memenuhi standar  higienis atau masih  melakukan aktivitas  MCK  di sungai.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puskim), Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) juga punya terapan teknologi pengelolaan limbah air dengan teknologi subreservoir  seperti yang diaplikasikan di Graha Wiksa Praniti, Jalan Turangga Bandung. Yup, tempat  yang sama para Kompasianer  mengikuti  kolokium. Selesai mengikuti diskusi,  kami diajak untuk mengenal lebih dekat  bagaimana  pengolahan air  dengan sisitem subreservoir di  sini.

Dari acara ini juga saya baru tahu kalau untuk drainase genangan air paling sesuai standar tingginya tidak boleh lebih dari 10 cm dan tidak boleh menggenang  lebih dari 2 jam.  Oh, begitu.  Noted.

telepon: 022-7798393-5

website:  puskim.pu.go.id

email: info@puskim.pu.go.id

facebook: puslitbang pemukiman

twitter:  @puskim_pu

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun