Saya pernah membaca laporan di sebuah koran lokal yang meliput tentang masalah pemukiman di Bandung. Sempat tercengang waktu dibilang kalau kawasan terpadat di dunia itu ada di Bandung. What? Bandung? Iya, bukan di Rio de Janeiro atau New Delhi. Bukaaaan. Ini ada di Bandung. Sedihnya lagi kawasan terpadat itu ada di kecamatan tempat saya tinggal, Bandung Kulon. Masih ada 2 kecamatan lagi yang terbilang padat, ada kecamatan Kiaracondong dan satu lagi ada kecamatan Cicadas.
Bayangin aja, tingkat kepadatannya mencapai 13.000 jiwa per km persegi. Dan menurut sumber yang saya baca, enggak ada daerah lain yang kepadatan penduduknya seperti ini. But please note, ini berita tahun 2009. Mudah-mudahan sudah berubah, seenggaknya udah ga sepadat itu. Meski semakin ke sini saya merasa jalanan menuju pulang ke rumah semakin macet saja.
Beberapa kawasan kelurahan yang ada di sekitar tempat saya tinggal memang masih padat. Gang 1000 punten, gang senggol istilah yang dberikan oleh teman saya dulu. Saking banyaknya tikungan yang harus dilalui. Lebar gang yang sempit di mana biasanya ada ibu-ibu atau mbak-mbak yang lagi asik nongkrong dan ngerumpi. Entah ngerumpi apaan. Mungkin harga sayuran yang lagi mahal, siapa yang belum bayar arisan, ngajak ngebakso yang enak, sinetron yang lagi seru-serunya di tv dan rumpian khas ibu-ibu lainnya. Biasanya untuk di kawasan padat seperti ini ada beberapa ruas yang hanya muat satu motor agar bisa lewat. Kalau memerhatikan tata letak rumah di kawasan itu pun ventilasinya tidak sehat karena letak rumah tidak beraturan.
Dalam beberapa kasus kebakaran yang pernah terjadi di beberapa tempat (seperti jalan Arjuna tuh, dari sejak jaman saya SMA sering banget kebakaran), yang saya perhatikan adalah letak rumah yang sangat berdempetan, memudahkan si jago merah loncat dan melalap apa pun yang dilaluinya.
Sampah yang pernah ditemukan di sungai ini bukan cuma kantong keresek atau bungkus bekas kemasan, tapi pernah ditemukan kasur, bangkai sapi dan bangkai kambing. Entah apa yang terjadi dengan dua mahluk malang ini, sampai-sampai bangkainya pun berakhir di sini.
Dalam keterangannya, Pak Muharram menceritakan kalau tingkat pencemaran di sungai Cikapundung ini ada di grade 4, artinya bukan cuma ga bisa diminum, mencuci baju atau mandi (seperti jaman-jaman dulu semua kegiatan ini bisa dilakukan di sungai yang sama), ikan pun bakalan mati kalau dipiara di sini. Eh tapi mudah-mudahan upaya perbaikan yang sedang digencarkan pemerintah kota Bandung bisa memperbaiki kualitas air, seenggaknya tingkat pencemarannya bisa naik satu strip jadi tingkat 3 dan naik lagi. Aamiin.
As we know, kalau yang namanya air minum adalah kebutuhan pokok. Enggak boleh enggak. Kadang suka sedih kalau melihat air meluap ketika banjir, duh bisa enggak ya dimanfaatin biar ga mubazir? Gimana cara ngolahnya?
Pertanyaan lama yang sempat mengusik saya akhirnya mendapatkan jawaban. Hari kamis 7 Mei 2015 kemarin saya dan teman-teman Kompasiana Bandung mendapat kesampatan untuk mengikuti acara Kompasiana Nangkring: “Dukungan Inovasi Teknologi Bidang Pemukiman 100-0-100".
Nah, seperti judul yang saya kasih di artikel ini, kalau enggak ngeh, ya kenalan, dong. 100-0-100 adalah nama dari akselerasi program yang diluncurkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puskim), Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) yang sudah diperkenalkan sejak tahun 2014.
Diberi nama 100 - 0 – 100, sebagai program Kementerian PUPR yang ingin dicapai dalam periode 2015-2019 untuk mewujudkan 100% Akses Air Minum, 0% Kawasan Kumuh, 100% Akses Sanitasi.
Untuk Sesi pertama yang di Bandung, saya menyimak paparan dan tanya jawab yang menghadirkan Iwan Suprijanto, ST, MT sebagai Kepala Bidang Program dan Kerjasama, Ir Buidono Sundaru, perekayasa Rumah Instan Sederhana Sehat dan bapa Sarbidi ST, MT, Peneliti Bidang Air Minum & Penyehatan Lingkungan (AMPLP) yang sekaligus memandu dan meninjau pengolahan subreservoir di Graha Wiksa Praniti.
100% Akses Air Minum
Air minum, ah ini sih tidak boleh tidak. Yang namanya lapar masih bisa ditahan, tapi kalaku haus? Untuk ukuran normal saja kita butuh sekitar 8-12 gelas air minum. Tapi tentu saja tidak sembarangan air minum, harus yang sehat dan higienis. Sementara kondisi air tanah di Indonesia sudah banyak yang tercemar. Salah satu teknologi yang dimiliki oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) antara lain adalah Instalasi Pengolahan Air Sistem Mobile, Instalasi Pengolahan Air Sistem Portable, atau Instalasi Pengoolahan Air Merotek yang mengolah air sungai menjadi air yang layak untuk di minum. Salah satunya adalah project pilot yang kami kunjungi di Sumedang.
Yang menarik perhatian saya adalah ide rumah RISHA, singkatan dari Rumah Instan Sehat Sederhana yang dibuat dengan sistem knock down, mengusung konsep unik, BMW. B maksudnya rumah RISHA terjangkau Biayanya, lalu M untuk mutu yang terjamin dan W untuk waktu pengerjaaan yang singkat. Pesan Pagi sore jadi. Mirip konsep rumah lego, gitu. Meski begitu, enggak berarti kalau kita pesan hari ini besok siap huni juga, sih, Soalnya harus ada beberapa bagian yang dipasang juga. Tapi dibanding proses pembuatan rumah konvensional, RISHA ini memang lebih efisien dari segi waktu dan dana.
Sebagai gambaran lebih iritnya punya rumah model RISHA, dengan tipe 36, dibutuhkan sebanyak 246 panel yang bervariasi dari 3 jenis panel P1, P2, P3. Untuk panel 1 costnya sebesarRp. 110.000, panel 2, Rp. 100.000 dan panel 3 Rp. 90.000.
Gitu aja? Eits, jangan lupa selain panel dan beberapa bagian lain harus dibutuhkan, untuk memiliki RISHA tetap harus punya IMB juga, dong. Sebagai warga negara yang baik, untuk yang satu ini jangan samapai terlewatkan buat diurus, ya.
Aplikasi rumah ini sudah diaplikasikan di Nangroe Aceh Darusalam sebanyak 10.000 unit rumah pasca musibah Tsunami. Selain di NAD, juga diaplikasikan untuk bangunan lain seperti rumah sakit, puskesmas, tempat ibadah dan bangunan lainnya. Daerah lainnya yang sudah mengadopsi teknologi RISHA ini antara lain di propinsi Jawa Barat, Kepuluan Riau, Sumatera Barat, dan DKI Jakarta. Nah kalau di Jakarta, bisa tuh kunjungi Kampung Deret yang sudah mengaplikasikan teknologi RISHA ini.
Mengikuti standar WHO untuk bangunan yang layak huni, maksimal untuk 1 unit RISHA adalah tipe 72 dan tidak boleh lebih tinggi dari 2 lantai. Semetara untuk ukuran terkecil, standarnyaa dalah 3x3x3. Maksudnya Panjang 3 meter, lebar 3 meter dan tinggi 3 meter. Cincai, cukup deh buat ukuran tinggi badan orang Inonesia, ya. Selain itu rumah RISHA juga sudah punya hak paten dan merk dagang! Jadi, enggak bakalan tuh diklaim sama orang lain yang ngaku-ngaku. It’s originally made in Indonesia.
Serius buatan Indonesia? Iya, bener. Di Indonesia sudah ada sekitar 67 aplikator workshop yang terdapat di Padang Pariaman, Bogor, Bandung dan Sumedang. Seperti yang ada di Desa Sindang Pakuon, kecamatan Cimanggung, Sumedang, ada satu workshop yang memperkerjakan tenaga lokal sebanyak 8 orang yang didukung perguruan tinggi terkemuka dari Bandung seperti UNPAD dan UNPAR. Menurut Pak Rahmat (pemimpin workshop di sini), budget untuk 1 workshop sekitar 250-300 juta minus tanah. Anggaran dananya sudah diatur puskim. Jadi mau bikin di mana aja, budget yang sudah ditetapkan bakalan sama.
Namun, RISHA ini bisa terganjal beberapa kendala untuk bisa direalisasikan. Misalnya saja hantu inflasi yang bisa membuat calon pembeli mundur teratur untuk mengajukan kepemilikan rumah ini. Suka atau tidak, yang namanya inflasi, boro-boro buat beli rumah, kenaikan harga untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja masih jadi PR pemerintah untuk terpenuhi. Belum lagi pihak perbankan yang belum berani untuk mengucurkan bantuan kredit kepemilikan RISHA. Jadi, selain rakyat, pengembang, pihak peyandang dana juga perlu mendapatkan edukasi agar hak rakyat untuk mendapatkan rumah sebagai kebutuhan pokok bisa terpenuhi. Sesuai dengan UUD RI 1945 amandemen Pasal 28, Ayat 1. Salah satu poinnya adalah terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal yang layak.
100% Akses Sanitasi
Rumah sehat, ok. Air minum sehat, dapat. Eh jangan lupa juga soal sanitasi. Lingkungan tempat tinggal yang tidak memenuhi standar rumah sehat bisa jadi perantara berkembangnya penyakit. Masih ada lho di daerah yang warganya lebih suka menggunakan MCK bersama , kondisi WCnya yang tidak memenuhi standar higienis atau masih melakukan aktivitas MCK di sungai.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman (Puskim), Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) juga punya terapan teknologi pengelolaan limbah air dengan teknologi subreservoir seperti yang diaplikasikan di Graha Wiksa Praniti, Jalan Turangga Bandung. Yup, tempat yang sama para Kompasianer mengikuti kolokium. Selesai mengikuti diskusi, kami diajak untuk mengenal lebih dekat bagaimana pengolahan air dengan sisitem subreservoir di sini.
Dari acara ini juga saya baru tahu kalau untuk drainase genangan air paling sesuai standar tingginya tidak boleh lebih dari 10 cm dan tidak boleh menggenang lebih dari 2 jam. Oh, begitu. Noted.
telepon: 022-7798393-5
website: puskim.pu.go.id
email: info@puskim.pu.go.id
facebook: puslitbang pemukiman
twitter: @puskim_pu