Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Sang Pengembara

3 Juni 2011   02:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:55 371 2
“Seorang yang bebas, harus bisa membayangkan hidup dalam situasi apapun
tanpa perlu kehilangan esensi kemanusiaannya.”
Nurcholis Madjid (1939 – 2005)


Ada suatu kepercayaan yang tidak mempercayai bahwa kegemilangan materi akan membawa ke kebahagiaan sejati.

Dulu, itu merasuki jiwa orang-orang muda di balik kelimun, hingar, dan pesona lampu-lampu kota. Mereka menggelandang, tapi bukan gelandangan. Mereka ada di sudut-sudut malam jalanan, tapi bukan melakukan kriminal, apalagi meratap meminta-minta belas kasihan.

Bohemian.
Kebanyakan mereka adalah orang-orang muda golongan menengah perguruan tinggi, yang mencoba mengungkap ekspresi ‘religius’ tentang hakikat ilahiah lewat nyanyian kemiskinan.


Dalam keadaan bernama kemiskinanlah bersemayam kesucian. Bukan selalu harus dengan ritus kemewahan, industri, apalagi hitungan untung-rugi mesin produksi.


Dibesarkan dengan kultur aksara, seni avant-garde, serta eksistensialisme. Maka baginya, jalanan adalah rumah. Hanya saja kebetulan atapnya dari langit.

Mereka, bohemian, terlanjur jatuh hati akan pengembaraan kehidupan malam. Dan dalam kegelandangan itu mereka barulah merasa ‘manusia’. Manusia yang benar-benar ‘hidup’.

Mereka inilah, yang bercommune, yang berada dibalik teriakan masyhur “Make Love, Not War” menentang Perang Vietnam. Di jalan mereka membagikan warna-warni bunga lambang cinta damai. Orang lalu menjulukinya flower power, flower children, atau yang paling kesohor flower generation.

Soal Perang Vietnam, itu hanya satu dari sekian banyak kejengkelan terhadap rusaknya kenyataan sosial yang tengah berkembang. Materialisme budaya adalah yang paling dicemooh.

Dan counter culture dilakukan. Mari bercelana jeans sobek-sobek, berkaos oblong, berkalung manik-manik, berambut gondrong, berjenggot lebat, bersandal jepit, berjaket yang disulam sendiri. Atau mari berkaftan– jubah longgar tadisional Turki yang menjuntai hingga lutut– demi membedakan kita dengan mereka yang bersetelan rapi dengan dasi.

Mari mengenakan yang berharga murah, sebab kita anti-kemapanan, anti-borjuisme, anti-militerisme, anti-senjata nuklir, anti-masyarakat fasis, bahkan anti-gereja bila memang memenjarakan fikir.

Segala yang beraroma kemandegan, keajegan, dan kesempurnaan palsu harus disingkirkan jauh-jauh. Mari memperjuangkan gerakan hak-hak azasi manusia, kesetaraan hak kaum perempuan, pelestarian lingkungan hidup. Mari mengedepankan cinta-damai, keterbukaan serta toleransi.

Ajaran ‘timur’, buddhisme, vegetarian (menghindari makanan instan), mempraktekkan pengobatan alternatif, adalah hal baik yang bisa kita terima. Retornous a la nature, kembali kepada alam kata Jean-Jacques Rousseau (1712 - 1778) di Zaman Romantik harus didengungkan kembali.

Itu Bohemian.
Legenda orang-orang muda gelandangan di sudut-sudut malam kota besar barat, yang gemar bercommune dan mereka berbincang tentang seni avant-garde ataukah filsafat eksistensialisme.

Bohemian, seperti juga dari Nietzsche dalam Thus Spake Zaratuhstra :

“Hidup bebas masih terbuka bagi jiwa-jiwa yang besar. Sesungguhnya, dia yang menguasai sedikit adalah yang sedikit pula terkuasai: terberkatilah kemiskinan yang tidak berlebihan!”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun