* * *
Frankfurt, Jerman di tahun 1923. Sebuah ‘sekolah’ lahir. Tapi, lebih pada bukan ‘sekolah’ secara fisik. Melainkan suatu paradigma serta riset sosial-budaya. Frankfurt Schule namanya. Belakangan lebih terkenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt.
Pendirinya, kebanyakan kaum intelektual Yahudi Jerman sayap kiri kelas menengah-atas. Mazhab Frankfurt lahir dari kekhawatiran akan fenomena sosial-budaya yang tengah berkembang saat itu. Ada yang salah dengan konsep pencerahan yang dijanjikan gerak bernama modernisme. Ada yang mesti diperiksa ulang dengan perluasan kebebasan manusia serta kecenderungan ilmu pengetahuan berazas rasionalitas buta. Kemajuan (modernisasi) justru seperti hanyut ke dalam mimpi buruk.
31 tahun kemudian, di tahun 1954, keresahan itu hijrah ke Prancis. Mengusik imajinasi seorang pemikir poststrukturalis, Roland Barthes. Hingga menorehkannya dalam rangkaian tulisan di majalah Les Letters Nouvelles. Ia merefleksikan beberapa kecenderungan modernisasi kehidupan sehari-hari orang Prancis. Budaya menonton gulat, anggur dan susu, hingga striptease pun sakasama ia amati.
Sampai akhirnya Barthes berkesimpulan; “orang moderen pun dikerumuni oleh banyak mitos, orang moderen juga produsen dan konsumen mitos.”
Muthos kata orang Yunani dulu, semacam bentuk ‘kefrustasian’ akal manusia dalam usahanya menjelaskan dengan gamblang fenomena-fenomena alam. Entah itu hujan, badai, kekeringan, ataukah berupa malapetaka.
Bangsa Skandinavia pun berhalusinasi, sesosok Thor pemilik godam sakti, yang sanggup menggetarkan langit menghasilkan petir. Hingga titik-titik hujan lalu jatuh ke bumi.
Kita juga dulu bermimpi tentang Dewi Sri. Yang memberi berkat pada kesuburan padi Pak Tani. Sama seperti orang Yunani sendiri yang mengenal Zeus dan Apollo. Dionysos dan Hera. Ataukah Pandora dengan kotak malapetaka-nya, yang ditugaskan turun ke bumi untuk balas dendam kepada Prometheus.
Muthos atau mitos punya tiga ciri.
Irasional. Dalam arti, mitos tidak berada dalam kontrol kesadaran manusia. Karenanya, ia sering dilawankan dengan kata logos (akal/rasio).
Intuitif. Ia tidak melalui rangkai uraian filosofis yang tersistem.
Ambiguous. Sesuatu yang tidak memiliki kejelasan benar-tidaknya.
Kupu-kupu, hitam dan bercorak kembang kuning di kedua sayapnya, yang terbang kesana-kemari di dalam rumah, apakah hari ini kita akan kedatangan tamu?
Tak ada uraian sistematis, logis, dan rasional yang mampu menjabarkan secara gamblang, apa dan bagaiamana hubungan antara ‘kupu-kupu’ dan ‘datangnya tamu’.
Lalu datanglah ke bumi, ilmu pengetahuan dan kecerdasan teknologi. Lamat-lamat mitos tergeser dalam kesadaran masyarakat. Keberadaannya mulai terkucilkan. Dengan mikroskop dan matematika, manusia kemudian mampu mejelaskan lebih akurat bahwa; hujan adalah penguapan air yang ada di permukan bumi (sungai, danau, lautan, dan samudera) akibat panas matahari. Lalu, uap naik terbawa angin membentuk gumpalan awan. Berkondensasi menjadi embun (air). Hingga muatan positif dan muatan negatif pada gumpalan awan saling bertemu mengalami pemampatan. Langit pun bergemuruh, cahaya silau menyambar. Dan petir menggelegar.
Sains seumpama penghapus Thor dan palu godamnya. Sri, Chac, Baal, Bathara Indra, Ul Wed Lahalata ataukah dewa-dewa lain yang sering dikaitkan dengan hujan dan petir.
Lantaran itu, bukan berarti bahwa hari ini kita telah terbebaskan dari muthos. Seperti kata Mazhab Frankfurt, Barthes, dan pemikir posmoderenisme lainnya; ilmu pengetahuan (logosentrisme) dan teknologi hanya menghasilkan ilusi-ilusi dan mitos-mitos baru.
Dalam masa, ketika dimana-mana semakin banyak orang hobi menunduk asik memedulikan gadget ketimbang realitas di depan hidungnya. Masa, ketika keluh-kesah bahkan curhatan lebay sekalipun, berhamburan dipertontonkan ke seluruh dunia lewat jejaring.
Tetap saja, tegas Barthes sekali lagi, “Orang moderen pun dikerumuni oleh banyak mitos, orang moderen juga produsen dan konsumen mitos.”
Orang-orang moderen yang dimaksud Barthes, adalah mereka yang mempercayai muthos dalam gaya hidup sehari-hari. Mereka yang berkeyakinan akan adanya kekuatan-kekuatan bersemayam pada benda-benda yang dimiliki (have).
Mereka, orang-orang moderen, yakin bahwa dalam pesta malam ini, setelan Giorgio Armani yang dikenakan, memiliki kekuatan ‘eksklusif’ dibanding setelan made in Pasar Tanah Abang yang dikenakan Pak Imran di sudut sana.
Mereka yakin, bahwa liburan ke Singapura, Paris, ataukah New York, lebih keren dan mengasyikkan ketimbang mengunjungi nenek di kampung halaman.
“OMG, Manhattan padat banget… hiuuff.”
“Pusiing… pilih sale gila-gilaan di Orchad Road atau santai-santai di Pattaya…”
“Eh Menara Eiffel tinggi lho ternyata...^_^”
(Dueeeeerrrr....) begitu mungkin cuit-cuit mereka di jejaring ataukah oleh-oleh cerita ketika pulang nanti.
Ini zaman lifestyle bung...! pola penggunaan waktu, ruang, uang, barang atau apa pun itu, tidak lagi sesederhana dulu.
Kadang rambut perlu dipotong ataukah sekalian ditutup. Entah alasan karena kesehatan (cuaca panas/dingin). Ataupun karena ketentuan agama (kerudung/jilbab penutup aurat).
Manakala pilihan warna, bahan, tekstur, model, dan hiasan lain menjadi persoalan ribet dalam melakukan pertimbangan, saat itulah gaya hidup (lifestyle) sudah hadir dengan tegas.
Suatu pola penggunaan apa saja, yang nantinya bisa menciptakan pembedaan (difference) identitas seseorang dengan orang lain.
Modernisme, menganggap segala sesuatu yang digunakan manusia dalam gaya hidup sehari-hari memiliki dua aspek nilai. Selain nilai fungsi (use value), ada nilai sosio-kultural (socio-cultural value).
Si A mengendarai mobil Kijang ke kantor. Sementara Si B BMW.
Dalam konteks use value, Si A dan Si B tidak memiliki perbedaan berarti. Dua-duanya sama-sama memfungsikan mobil sebagai alat transportasi ke kantor.
Tapi cerita menjadi lain dalam konteks nilai sosio-kultural. Tingkah satpam-satpam di tempat-tempat umum sering memperlihatkan itu. Mereka tiba-tiba memperlakukan ekstra hati-hati penuh hormat terhadap BMW dibandingkan Kijang.
Seperti ada citra (imago) berbeda yang bersemayam di kedua mobil itu.
Benda tertentu, menandakan (signifikasi) citra tertentu bagi pemakainya.
Citra itulah yang diharapkan menjelaskan identitas diri (siapa) dalam interaksi sosial. Citra itu juga, yang diharapkan bisa menempatkan dirinya dalam struktur sosial ‘istimewa’. Sehingga oleh orang lain, ia pun akan diperlakukan secara ‘istimewa’.
Citra itulah muthos, yakni keyakinan akan adanya kekuatan (imago) yang bersemayam di balik benda-benda yang digunakan.
Setiap harinya, di kantor, di kampus, di mall, di pasar, di angkot, bahkan di jejaring, semua orang saling menghambur sekaligus saling memperebutkan citra-citra.
Citra hanya ada pada benda-benda.
Maka seumpama parade, kita beradu dalam perlombaan konsumerisme benda-benda yang dipercaya memiliki daya magis. Membeli benda tertentu, akan membawa diri ke level tertentu.
Dulu Rene Descartes pernah berkata “Aku berpikir, maka aku ada.”
Kini “Aku membeli, maka aku ada,” kata Bre Redana.
Bilamana konsumerisme telah menjadi dasar eksisitensi individu. Maka, siapa yang paling berkuasa (mampu) dalam mengkonsumsi, dialah Sang Raja pemilik hak-hak ‘istimewa’ dan perlakuan-perlakuan ‘tertentu’ dalam panggung sosial bernama masyarakat.
Benar kata Barthes; manusia moderen juga produsen dan konsumen mitos. Manusia moderen juga diselimuti sederet keyakinan yang irasional, intuitif, ambiguous, atau dalam kalimat yang lebih pas ‘terlalu mengada-ada’.
Bahwa: Profesi jenderal lebih baik daripada petani. Musik jazz lebih eksekutif daripada dangdut. Orang kaya lebih bahagia daripada orang miskin. Baju kemeja lebih sopan daripada kaos oblong. Rambut lurus lebih gaya daripada rambut ikal. Menjadi orang terkenal lebih trendi daripada orang tidak terkenal. Jeans merek ini lebih modis daripada merek itu. Makan di sini lebih populer daripada makan di situ. Tinggal di kompleks ini lebih nyaman daripada di kampung itu.
Bahkan, cara meludah seperti ini lebih keren daripada cara meludah seperti itu. “Cuiih!”
* * *
Kampung Pettarani, Makassar 7 oktober 2006.
catatan : Tulisan ini hasil modifikasi ulang (makanya tanggal pembuatannya tertera begitu) dan diinspirasi dari skripsi yang berjudul Mitos Malam Minggu Remaja di Makassar (Studi Kasus Semiotika Gaya Hidup) oleh Wahyudi, mahasiswa Strata Satu Angkatan 99 Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Program Studi Jurnalistik. Dalam uraiannya, terdapat deskripsi tentang bagaimana mitos bekerja berdasarkan pola Semiotika, Hegemoni, Konsumerisme, dan Hiper-realitas.