Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Wah, Sekolah Monyet Ditutup?

10 Maret 2019   09:42 Diperbarui: 10 Maret 2019   09:48 66 16

Kalau monyet mau diberdayakan dan diurusi, ya harus disekolahkan. Sebab, di tengah realitas masyarakat, sering kita berucap kepada sesama memaki seseorang dengan kata binatang ini. Bahkan kala binatang di kediaman berbuat salah, atau tingkah lakunya menyebalkan, kita tanpa sadar berceloteh binatang tidak tahu diri.

Iya iyalah memang begitu perilaku binatang. Seperti kucing garong senang mencuri ikan asing di rumah. Kita, ketika mendapati kucing mencuri ikan, lalu memaki.  Demikian juga terjadi pada anjing, kala tuannya tidak memberi makan ia tak dapat menahan lapar dan menggonggong. Tuannya menyebut, dasar anjing.

Ketika di jalan raya seekor anjing melintas berlari, ada pengendara berucap, dasar anjing.

Seorang cewek berebut cokok ganteng berkelahi dengan saling menjambak rambut. Satu sama lain mengeluarkan kata-kata kasar dengan menyebut kata anjing, bangsat dan tidak ketinggalan monyet. Tak sadar, kata-kata tersebut meluncur dimaksudkan sebagai kata penghinaan mendalam.

Orang tengah bertikai itu memang juga tak sadar bahwa kucing, anjing dan monyet sejatinya juga mahluk tuhan yang butuh kasih sayang. Karena sayangnya yang diberikan kepada binatang tersebut, dengan instink yang dimilikinya, maka dapat dijadikan binatang peliharaan dan setia kepada tuannya.

Agar binatang tadi dapat diberdayakan, manusia dengan kelebihan akalnya lantas membuka sekolah binatang. Misal, pusat pelatihan anjing untuk membantu polisi menangkap para bandit. Pusat pemeliharaan kucing terlantar yang dilakukan kalangan lembaga sosial masyarakat dan para pecinta binatang lainnya.

Nah, ini baru kabar mengejutkan. Justru Dinas Kehutanan DKI Jakarta mendesak pemerintah pusat untuk segera menutup sekolah topeng monyet yang ada di Sumedang, Cirebon dan Tasikmalaya (Jawa Barat).
Ada apa?

Ini bukan berarti hak monyet untuk menjadi pandai melalui lembaga pendidikan tersebut dirampas negara. Tak ada kaitannya itu.

Ternyata, usut punya usut, persoalannya adalah di sekolah bersangkutan para monyet diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Meminjam istilah yang dipakai manusia, tidak punya kepribinatangan. Mereka dilatih untuk menjadi topeng monyet di Jakarta. Pemda DKI sudah lama tak menginginkan agar topeng monyet, mungkin kelakuan monyetnya pun dilarang.

Maka, para pelakunya yang mengelola sekolah monyet tadi harus dijerat pasal penyiksaan hewan. Dengan cara itu, ke depan tidak ada lagi topeng monyet di daerah-daerah diperlakukan tidak sebagaimana mestinya, kata Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta Suzi Marsitawati.

Memang, sampai sejauh ini, Dinas Kehutanan DKI tidak melakukan penangkapan terhadap pelaku pengguna jasa sekolah topeng monyet. Yang dilakukan adalah upaya persuasif dan pemberitahuan bahwa kegiatan yang mereka lakukan dilarang.

Hasil rapat koordinasi dengan kepala BKSDA salah satu poinnya adalah mendorong Dinas Kehutanan untuk membuat perda tentang larangan topeng monyet.

Pemerintah memang belum membuat perda yang memuat sanksi bagi para pelaku usaha topeng monyet. Tujuan dari Perda adalah untuk memberikan efek jera. Di sisi lain, pemerintah dituntut mencari solusi untuk memberikan alih profesi bagi pelaku usaha topeng monyet. Sudahkah direalisasikan. Entahlah?

Upaya Dinas Kehutan DKI itu mendapat dukungan dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN). Diharapkan  peraturan yang dikelurkan nantinya dapat memberikan sanksi pada para pelaku usaha sekolah topeng monyet.

Harus ada aturannya, kata Kepala Divisi Satwa Liar, Rahmat Zai ketika ditemui di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Jadi, aturan tentang peragaan topeng monyet itu penting. Mumpung para koruptor belum berinisiatif mengajukan usulan kepada KPK bahwa lebih baik pakai topeng monyet ketimbang rompi oranye atau mengenakan borgol.  Hehehe.  Salam berbagi.

Bahan bacaan: satu dan dua

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun