'ndasmu etik' menjadi blunder penyempurna dari paslon no 2 karena dalam sekejap hal itu tersebar dan viral di medsos. Klarifikasi yang dilakukan justru memperkeruh situasi karena dianggap ungkapan kasar menjadi hal yang biasa dalam internal partainya. Fakta ini menjadi ancaman serius di balik branding gemoy yang dilakukan paslon no 2. Realita dibalik branding gemoy tidak bisa terlepas dari kepentingan untuk merebut suara kaum milenial, generasi z dan pemilih pemula. Tidak bisa dipungkiri kaum milenial pemilih pemula tidak pernah mengenyam pemerintahan orba yang berkuasa 32 tahun dan sukses digulingkan oleh era reformasi.
Visualisasi gemoy memang diharapkan bisa menepis citra Prabowo selama ini yang juga dianggap mewakili orba. Oleh karena itu, secara perlahan tapi pasti branding gemoy lalu dilakukan dengan perilaku joget yang bagi sebagian dianggap tidak penting. Ironis, dari branding itu ternyata hancur saat debat pertama dilakukan dan watak asli Prabowo juga keluar dengan gimmick menjulurkan lidahnya. Situasinya diperparah dengan visualisasi pemandu sorak yang diperagakan cawapresnya. Blunder juga berlanjut ketika kemudian keluar kalimat 'ndasmu etik' yang dalam sekejap langsung viral di medsos.
Era kekinian memang harus hati-hati karena semua bisa viral dalam sekejap dan pasti ini menjadi santapan lezat untuk menyerang. Padahal, jejak digital itu tidak mudah lenyap dan pasti akan tersimpan jelas di benak publik. Oleh karena itu, branding gemoy hancur sekejap hanya karena blunder yang terus berlanjut terjadi dari paslon no 2. Bahkan, saat ini publik juga antusias menanti aksi cawapres no 2 saat debat pada Jumat 22 Desember. Seberapa kemampuan berdebat, berargumen dan bersanggah dengan cawapres lain yang menurut persepsian publik lebih mumpuni yaitu Cak Imin dan Mahfud MD.
Belajar bijak dari sejumlah blunder bahwa branding memang penting tetap branding itu sendiri harus didukung dengan pemasaran politik dan komunikasi politik. Tahapan dari semua itu juga harus didukung dengan kedewasaan dan kematangan emosional yang hal ini hanya bisa dicapai dengan pengalaman, bukan instan atau karbitan sesaat. Fakta dari sejumlah blunder menegaskan bahwa pilihan pemilih bisa dipengaruhi banyak faktor. Ini harus menjadi pelajaran agar tidak menambah blunder lanjutan yang akhirnya mereduksi elektabilitas sehingga tidak menarik simpati pemilih.