Selain tersedia pusat penjualan/pasar buku, di kota-kota besar di Jawa secara rutin juga diselenggarakan pameran buku (book fair) beberapa kali dalam setahun, tentu dengan banyak pilihan penerbit buku dan diskon yang menggiurkan. Jadi pameran buku adalah kesempatan untuk memborong buku.
Selain kemudahan dalam mendapatkan (membeli) buku yang diimbangi dengan tingginya minat masyarakat membeli buku, perpustakaan umum milik pemerintah daerah pun ramai dikunjungi masyarakat terutama pelajar. Bahkan pada hari Ahad, ada perpustakaan umum daerah yang tetap buka dan tetap ramai.
Kontras dengan kisah di atas, pengalaman berbeda saya alami di daerah luar Jawa yang saya tinggali. Saat saya tinggal di Kab. Rejang Lebong, Bengkulu saya dapati perpustakaan umum milik pemerintah kabupaten sepi pengunjung. Bukunya cukup banyak dan tertata rapi, namun sebagian besar kertasnya sudah menguning alias sudah berumur belasan tahun bahkan lebih. Majalah yang tersaji pun tak kalah beda. Didominasi majalah lama. Toko buku yang ada Curup (ibu kota kabupaten) jauh dari kategori lengkap.
Sekarang saya tinggal di Makassar, pintu gerbang dan kota terbesar di Indonesia Timur. Di kota ini toko buku Gramedia bahkan ada di 3 pusat perbelanjaan dan yang pasti harganya juga harga standar. Bertahun tahun tinggal di kota ini, jarang sekali ada pameran buku berskala besar dengan diskon yang 'wah'. Pameran buku yang diselengarakan "Kompas-Gramedia" di Balai Prajurit M Yusuf beberapa tahun lalu misalnya, hanya diikuti beberapa penerbit dengan diskon yang berkisar 10-20% dan beberapa item beberapa sedikit di atas itu. Tetap mahal. Ya, di kota Makassar tidak ada pasar buku seperti Shopping Center (Jogja, sekarang sudah bubar) dan Kwitang (Jakarta) yang sepanjang tahun tersedia buku murah. Buku bekas, koran dan majalah bekas juga hanya ada sedikit.
Kondisi Perpustakaan Umum Kota Makassar pun cukup memprihatinkan : lengang. Bangunan 2 lantai ini sepi pengunjung. Entah kenapa di kota yang besar ini pengunjung perpustakaannya hanya sedikit. Mungkin masyarakat lebih menyukai numpang baca di Toko buku Gramedia yang koleksinya selalu baru dan lengkap, di pusat perbelanjaan lagi.
***
Tulisan di atas cukup memberikan gambaran mengenai dua hal : minat baca masyarakat dan ketersediaan buku, di Jawa dan luar Jawa. Dua hal ini adalah unsur permintaan (demand) dan penawaran (supply) dalam pasar perbukuan. Minat baca masyarakat akan berbanding lurus dengan jumlah buku yang tersedia di pasaran. Dalam kacamata bisnis, memang dapat dimaklumi bahwa penerbit/distributor buku tak mau berjualan buku di tempat yang sepi peminat. Di sisi lain, keterbatasan buku juga mempengaruhi kadar wawasan masyarakat.
Pemerintah daerah seharusnya tanggap dengan gejala ini. Minat baca masyarakat harus dibangkitkan. Tidak cukup dengan spanduk himbauan dan ceramah, namun masyarakat seharusnya juga disediakaan fasilitas bacaan buku-buku bermutu. Hal ini memang butuh modal, namun menyediakan buku/bacaan adalah bentuk investasi. Jika asumsinya sebuah buku sedang berharga Rp 50.000,- maka jika pemerintah daerah bisa menyisihkanAPBD sejumlah seratus juta setiap tahun untuk pembelian buku baru di perpustakaan daerah, maka masyarakat setiap tahun bisa menikmati 2.000 buku baru. Ketersediaan banyak buku baru di perpustakaan umum tentu dapat menarik minat untuk meminjam dan membacanya. Cukup dimulai dengan buku-buku ringan seperti komik, cerpen, novel dan majalah serta buku-buku yang sifatnya praktis yang sekiranya banyak diminati pelajar dan masyarakat secara umum, seharusnya perpustakaan umum daerah bisa ramai pengunjung jika pengelolanya tahu apa yang dicari pengunjung.