Air menjadi kebutuhan vital manusia, dan idealnya terpenuhi dalam jumlah yang pas. Saat air belimpah melebihi kapasitas penampungnya, jadilah banjir yang kerap menyapa warga di musim penghujan. Kontras dengan musim kemarau, saat berbulan-bulan hujan tak turun. Bantala rengka. Tanah terbelah-belah karena kering. Bahkan sungai dan mata air pun hilang airnya.
Kemana perginya air hujan yang ber juta-juta kubik turun ke bumi di musim penghujan? Di permukiman penduduk, air hujan yang didambakan seluruh makhluk hidup ternyata dicuekin oleh manusia, dibuatkan jalan supaya lekas pergi. Jangan mampir, apalagi masuk ke rumah. Dialirkan ke got, lalu ke selokan, ke kanal/sungai agar lekas ke laut, berkumpul dengan sesamanya.
Namun seringkali jumlah air hujan yang turun tak sepadan dengan kapasitas jalan yang tersedia. Akhirnya sebagian air terpaksa mampir sejenak di rumah, di halaman, di jalan raya, di lapangan bola, yang oleh manusia disebut banjir.
Apakah hujan memang ditakdirkan untuk turun ke bumi dan hanya lewat saja, tanpa ada yang mampir di tanah, di perut bumi? Tengoklah ke hutan. Tak pernah berlangganan banjir walaupun sama-sama disiram hujan yang deras, karena sebagian air diserap oleh pori-pori tanah, kulit kayu, serasah dedaunan. Saat kemaraupun hutan tak pernah kekeringan, selalu hijau.
Kita pun bisa meniru hutan. Tidak membiarkan air hujan hanya lewat percuma, tetapi kita simpan di tanah, walaupun tanah kita sudah habis tertutup semen dan aspal. Membuat sumur resapan solusinya, walaupun cara ini mahal dan tak bisa kita kerjakan sendiri.
Cara lain yang sangat efektif agar tanah menyerap air hujan adalah dengan membuat lubang biopori. Prinsipnya adalah membuat lubang vertikal di tanah sedalam sekitar 1 meter dengan diameter sekitar 10-15 cm kemudian diisi dengan sampah organik semperti dedaunan, sampah dapur (sayur, sisa makanan) dan/atau kotoran hewan. Memang tujuannya agar sampah-sampah tadi menjadi kompos di dalam lubang tersebut. Lubang tersebut dibuat di daerah tempat mengalirnya air saat hujan. Misalnya di halaman rumah, di sekitar cucuran atap. Juga dibuat di tanah-tanah kosong. Dengan lokasi tersebut dan mulut lubang yang dibiarkan terbuka, diharapkan lubang tersebut selalu terisi air saat hujan dan airnya lebih terserap oleh tanah. Air yang terserap di tanah inilah yang sebagian akan menjadi simpanan air saat kemarau. Gambar biopori seperti ini.
Seberapa efektif lubang ini mampu menyimpan air di tanah dan bahkan mencegah banjir?
Permukaan semen dan jalan beraspal jelas tak mampu menyerap air. Kemampuan tanah menyerap air pun terbatas. Saat terjadi hujan, air sudah melarikan diri ke tempat yang lebih rendah sebelum tanah menyerapnya sampai 'kenyang'. Dengan adanya biopori, air hujan akan tertampung sementara di lubang ini sambil pelan-pelan terserap oleh tanah di sepanjang sisi vertikal dalam lubang ini. Sampah yang menjadi kompos didalamnya cukup gembur sehingga air tetap bisa mengalir cepat sampai dasar lubang.
Dengan jumlah air hujan yang banyak terserap oleh tanah, tentu artinya semakin sedikit air yang mengalir ke selokan dan kanal, sehingga kemungkinan meluapnya selokan dan kanal semakin kecil.
Di tanah-tanah kosong pun sebaiknya dibuat lubang-lubang biopori, agar air hujan yang terserap semakin banyak dan cadangan air di lungkungan kita untuk kemarau nanti juga semakin banyak. Untuk media tanam dan pupuk, kompos dalam lubang biopori dapat kita panen 2-3 bulan sekali dan diisi kembali dengan sampah yang baru.
Sebagai solusi pembuangan sampah dapur (yang organik, bukan beling, kaleng dan plastik), kita dapat membuat banyak lubang sekaligus tanpa langsung diisi sampah. Sampah dapur yang kita hasilkan setiap hari-lah yang kita isikan ke lubang tersebut nantinya.
Nah, mumpung musim hujan baru (akan) mulai, mari membuat biopori!