Dalam postingan sebelumnya (dengan judul sama, tanpa angka) saya sudah sampaikan, bahwa ayah saya yang seorang pensiunan PNS (peserta Askes) tiba-tiba kena charge lebih dari Rp 1 juta (untuk obat) di RS yang sudah biasa didatanginya untuk pelayanan yang sama persis. Padahal biasanya (sebelum ada BPJS) hanya membayar Rp 100 ribu (di luar obat, karena obat diberikan secara gratis).
Merasa ada yang tidak beres, saya akhirnya menghubungi beberapa teman untuk minta saran. Dari konsultasi itu saya baru tahu bahwa ada yang namanya Prolanis (program penanggulangan penyakit kronis) di bawah BPJS. Sampai saat ini Prolanis baru mencakup dua jenis penyakit, yaitu diabetes melitus dan hipertensi. Ayah saya masuk kriteria itu.
Hanya saja, teman saya itu heran, karena kami menebus resep di RS tempat berobat. Menurut dia, harusnya di apotik yang ditunjuk oleh BPJS. Kami sama sekali tidak tahu, karena biasanya (sebelum ada BPJS) kami juga menebus obat di RS, dan mendapatkan obat secara gratis (karena obat yang diperlukan ada dalam daftar Askes).
Atas saran teman juga, kami mendatangi Kantor Askes untuk mendaftarkan diri sebagai peserta Prolanis. Katanya, dengan menjadi peserta Prolanis ayah saya akan mendapatkan pelayanan kesehatan gratis yang memang menjadi haknya sebagai peserta Askes sebelum ada BPJS.
Dari petugas Askes, kami diberitahu, bahwa ayah saya dikenakan biaya tinggi karena dokter/RS tidak 'menjawab' rujukan yang diberikan oleh Dokter Keluarga (Dokel). Perlu diketahui, sesuai prosedur, kalau berobat ayah pasti ke Dokel dulu, kemudian kalau diperlukan Dokel memberi rujukan ke dokter spesialis yang ada di RS. Petugas Askes kemudian memberi tahu lebih jauh, bahwa dokter spesialis/RS tidak menjawab rujukan, karena dalam surat rujukannya Dokel tidak menyediakan "kolom" untuk jawaban.
Sebenarnya kami tidak terlalu faham dengan penjelasan itu, tapi bisa menangkap inti permasalahannya, yaitu RS tidak menjawab rujukan Dokel, karena Dokel tidak menyediakan kolom untuk jawaban rujukan. Oleh petugas Kantor Askes, kami kemudian diberi formulir rujukan yang berisi kolom jawaban rujukan, dan disarankan untuk ke RS tempat ayah berobat. Saran itu tentu saja kami ikuti..
Sayangnya, setiba di sana, RS bersangkutan tidak bisa memberikan penjelasan yang memuaskan. Muncul kesan bahwa mereka merasa apa yang mereka lakukan (dengan men-charge ayah saya Rp 1,1 juta) sudah sesuai prosedur BPJS, dimana pelayanan rawat jalan hanya diberi jatah Rp 160.500, sisanya ditanggung oleh pasien.
Kami jadi bingung.. Informasi yang masuk ke kami berupa potongan-potongan, tidak memberikan gambaran yang utuh tentang prosedur yang seharusnya. Selain itu, juga tidak memberikan penjelasan tentang di mana kesalahan yang terjadi, sehingga ayah saya kena charge lebih dari 10 kali lipat dibanding biasanya itu (sekali lagi: untuk pelayanan yang persis sama dengan sebelum-sebelumnya).
Sampai kemudian secara kebetulan saya bertemu dengan seorang dokter yang berdomisili di Jawa Timur. Benar-benar kebetulan, karena waktu itu tidak sengaja bertemu saat sama-sama berada di bandara. Setelah ngobrol sana-sini, dia bilang bahwa mestinya Dokter Keluarga (Dokel) tahu tentang prosedur setelah BPJS berlaku (sejak Januari 2014).
Lalu mengapa dalam kasus ayah saya, Dokel sama sekali tidak memberi tahu? Jangan-jangan dia sendiri juga tidak tahu?
Akhirnya kami memutuskan untuk bertanya ke Dokel yang menangani ayah saya (sebelum dirujuk ke RS). Setelah bercerita tentang kasusnya, kami sangat terkejut, karena ternyata sang Dokel tahu semuanya! Kami jadi tahu, bahwa mestinya resep yang diperoleh dari dokter spesialis/RS (tempat rujukan) dibawa kembali ke Dokel, kemudian baru kami pergi ke apotik mitra BPJS untuk mendapatkan obat secara gratis.
Masalahnya, mengapa sang Dokel tidak memberi tahu kami sejak awal? Apakah kami dianggap sudah tahu? Tapi sudah lah, yang penting untuk yang akan datang kami sudah tahu apa yang mesti dilakukan. Tentang uang Rp 1,1 juta yang sudah telanjur dibayarkan (secara salah) kepada RS, kami mencoba untuk mendapatkannya kembali, tapi kalau pun tidak bisa kembali ya tidak apa-apa..
Semoga pengalaman (yang tidak terlalu baik) ini bermanfaat bagi orang lain, supaya tidak banyak jatuh 'korban' hanya karena persoalan sepele, yaitu informasi dan komunikasi..