Belum bertanding saja, insiden di Stadion Utama Gelora Bung Karno siang tadi sudah menunjukkan kericuhan hanya karena masalah pengelolaan penjualan tiket. Pada saat bertanding melawan Malaysia, akhirnya ternyata kalah juga.
Oleh karena itu, mau tidak mau terpaksa penulis mengambil kesimpulan bahwa meskipun bangsa ini besar sekali jumlah peduduknya, namun tidak bisa dikatakan sebagai sebuah bangsa besar.
Kesimpulan itu sebenarnya tidak dilihat dari hasil pertandingan sepak bola saja, tetapi juga dari Asian Games yang baru lewat, kasus-kasus TKI/TKW yang masih selalu terjadi, kemampuan diplomat-diplomat kita, dan kemampuan bangsa ini dalam banyak hal.
Penulis mengamati bahwa Indonesia pernah mengalami insiden HAM berat di pemakaman Santa Cruz Dili Timor Leste, dan RRC pernah mengalami insiden HAM yang jauh lebih berat lagi di Lapangan Tiananmen. Namun di percaturan antar bangsa, RRC justru tetap dihargai tinggi sedangkan Indonesia tidak dipandang dengan sebelah mata. Orang-orang dunia barat kalau melihat badminton, mereka sangat membela pemain-pemain Cina sedangkan terhadap pemain-pemain Indonesia mereka antipati.
Demikian juga kalau kita melihat data-data perkembangan nilai tukar mata uang dan indeks harga saham harian di sumber informasi internasional, Rupiah dan IHSG tidak pernah disebutkan.
Bukan berarti penulis tidak nasionalis. Tapi penulis ingin menggugah kita semua supaya sadar akan situasi saat ini dan bisa bangkit untuk menjadi bangsa yang benar-benar bangsa besar yang dihormati oleh bangsa-bangsa lain tidak semata karena jumlah penduduknya, tapi terutama karena martabat dan kemampuannya.