Meski pihak akademisi Malaysia hanya menuntut nama mereka dihilangkan dari penelitiannya, namun pantas juga jika gelarnya dicabut sebagai konsekuensi dari kasus ini. Kasus ini menunjukan bahwa perlu diadakan perubahan persyaratan pemberian gelar guru besar untuk menghindari terjadinya kasus yang serupa.
Tidak hanya mencatut nama akademisi lain tanpa izin, namun Prof. Kumba juga terbukti melakukan tindak plagiarisme dalam penulisan karya ilmiahnya. Beliau sudah mempublikasikan sekitar 160 karya ilmiah dalam tahun 2024. Namun berdasarkan pernyataan koordinator Kaukasus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, karya ilmiah Prof. Kumba mendapatkan skor kesamaan 96 hingga 97 persen saat dicek dengan situs turnitin.
Memang dari kasus ini terbukti bahwa karya ilmiah yang dipermasalahkan tidak dipakai dalam pengajuan gelar guru besar oleh Prof. Kumba. Karya ilmiah tersebut ditulis setelah ia mendapat gelar guru besar. Namun justru itu semakin memalukan. Tak pantas jika seorang yang sudah menerima gelar guru besar melakukan tindakan tidak profesional seperti plagiarisme, ataupun mencatutkan nama akademisi lain yang tidak terlibat.
Prof. Kumba ini ibarat seekor kucing liar yang dipungut dan dipelihara, namun tetap kembali ke alam liar tiap harinya untuk mencari makan. Beliau sudah diangkat menjadi seorang guru besar, dan diberikan kepercayaan untuk bertindak profesional, namun ia tetap bertindak seperti orang yang tidak terdidik.