FAKTA berbicara, mayoritas korban kecelakaan lalu lintas jalan adalah usia produktif. Tanpa gerakan yang serius, kecelakaan terus menjadi jagal yang menggerogoti generasi penerus negeri ini. Haruskah kita berpangku tangan? Kasus Fauzi yang tewas Januari 2012 akibat tabrakan, sedangkan istrinya, Tati, dan anaknya, Tiara, luka parah. Atau, kasus Afriyani yang menewaskan sembilan pejalan kaki di Jakarta awal 2012, membuka mata kita, jalan raya bisa menjadi mesin pembunuh. Tahun 2011, sedikitnya 31.000 jiwa tewas akibat kecelakaan lalu lintas jalan di Indonesia. Angka itu tak berbeda jauh dengan korban tahun 2010 yang mencapai 31.234 jiwa. Miris. Mayoritas korban adalah usia produktif, termasuk usia muda. Dari segi kendaraan, sepeda motor menjadi korban yang terbesar. Ironisnya, pemicu utama adalah faktor manusia alias perilaku berkendara para pengguna jalan. Pada titik ini, pemerintah dan para pemangku kepentingan keselamatan jalan bak kehabisan akal. Apalagi yang mesti dilakukan agar kecelakaan turun signifikan. Terutama agar korban jiwa bisa direduksi habis-habisan. Setelah berputar-putar diskusi kesimpulan yang hampir seragam mengerucut pada satu titik, butuh peran publik. Di segala lini. Khususnya peran preventif agar tak terjebak dalam insiden kecelakaan. Pemerintah didesak agar membuat kebijakan dan sinergi yang kuat untuk mengurangi kecelakaan jalan. Mulai dari membuat jalan yang layak dilintasi, membangun moda transportasi yang aman, nyaman, selamat, terjangkau, dan tepat waktu, hingga penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Soal yang ini, terkait dengan jargon bahwa kecelakaan kerap kali diawali oleh pelanggaran aturan lalu lintas jalan. Sehingga, jika penegakan hukum berjalan tegas dan konsisten, pelanggaran bisa ditekan dan ujungnya peluang kecelakaan pun mengecil. Lagi-lagi, pemerintah masih dianggap belum maksimal walau sudah punya segudang rencana seperti tertuang di dalam Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) Jalan. Publik atau masyarakat mesti memberdayakan dirinya. Mulai dari melengkapi perlindungan diri saat berkendara, lalu keterampilan berkendara, hingga memahami aturan yang ada. Kata kuncinya tetap pada perilaku berkendara.
The man behind the gun. Upaya memberdayakan diri tak hanya orang per orang. Ada komunitas-komunitas yang aktif untuk saling mengingatkan. Saling meningkatkan perilaku berkendara yang aman dan selamat. Di era teknologi informasi yang canggih saat ini, jejaring media sosial pun bisa ambil peranan penting. Pesan-pesan keselamatan jalan, gambar, foto, bahkan video bisa diunggah untuk saling mengingatkan. Ada bahaya mengincar di jalan raya. Semangat publik yang peduli untuk meningkatkan kualitas hidup lewat berkendara yang aman dan selamat butuh kesadaran kuat dari tiap-tiap individu. Kesadaran seluruh lapisan masyarakat. Mulai lapis bawah, menengah, hingga atas. Dalam keseharian, tidak semua anggota masyarakat memiliki kepedulian kepada persoalan keselamatan jalan. Lumrah. Ada yang menganggap kecelakaan adalah takdir. Bagi yang peduli beralasan, kecelakaan bisa dikurangi fatalitasnya. Peluang kecelakaan bisa diperkecil. Masing-masing punya pilihan. Bagi saya, jika masih ada masyarakat yang peduli, itu bagian dari ikhtiar agar hidup semakin jauh dari kecelakaan di jalan. Maklum, sekitar 60% korban kecelakaan kena dampak ekonomi. Artinya, kecelakaan bisa merusak kehidupan ekonomi sebuah keluarga. Pilihan untuk berikhtiar ada di tangan kita masing-masing. Mulai dari pekerja harian, karyawan kantoran, seniman, mahasiswa, hingga para blogger. Berbuat sekecil apapun demi keselamatan bersama, minimal untuk keluarga di rumah, sebuah langkah nyata. Mulai dari yang dianggap remeh seperti mengingatkan
senantiasa memakai helm saat bersepeda motor, atau tidak melintas di trotoar jalan. Ada yang bisa melihat, tapi tak mau bicara. Ada yang bisa bicara, tapi tak mau mendengar. Pilihan ada di tangan kita, untuk masuk kategori yang mana.
(edo rusyanto)
KEMBALI KE ARTIKEL