SANTI sewot. Uangnya Rp 200 ribu raib gara-gara dipinta seorang pemotor. Gadis usia duapuluh tahunan itu bercerita dengan penuh menahan emosi. Maklum, dia harus mengingat-ngingat dulu, saat bercerita kepada saya soal kejadian yang dianggapnya konyol. “Saya dipaksa membayar sejumlah uang, terpaksa melayang Rp 200 ribu,” cerita Santi, kita sebut saja begitu, di Jakarta, baru-baru ini. Tatap matanya menyiratkan rasa kecewa. Dia merasa, kejadian yang dialaminya bukan semata kesalahan dia. “Waktu itu saya mau turun dari taksi di kiri jalan, ti ba-tiba dari arah belakang ada pemotor melintas, dia tergelincir karena membentur pintu taksi,” tambah Santi lagi. Sang pemotor marah. Ngotot. Meminta ganti rugi. Padahal, kata Santi, lukanya tak seberapa, hanya lecet-lecet. “Yang membuat saya juga kesal, sang sopir taksi langsung kabur begitu saja,” kata dia. Kejadian seperti kisah Santi pasti tak sedikit. Pemotor mendahului dari kiri jalan, tiba-tiba pemobil membuka pintu, benturan terjadi. Pemotor terluka. Tak aneh, jika dalam aturan keselamatan berkendara kerap disebutkan bahwa mendahului tidak dari sisi kiri jalan. Kecuali dalam kondisi yang memang tidak memungkinkan. Misal, di lajur kanan kondisinya luar biasa karut marut. Di lajur kanan ada longsoran tanah atau potensi bahaya lain yang benar-benar tidak memungkinkan dilalui. Risiko pemotor berbenturan saat pemobil membuka pintu sepintas sebuah hal kecil. Tapi, efeknya bisa besar. Terjadi silang pendapat, tarik urat leher, hingga bisa jadi adu jotos. Dalam kasus Santi, mungkin karena dia wanita, jalan yang dipilih membayar sejumlah uang. Rasanya, kita para pemotor bisa belajar banyak dari kasus tersebut. Sudah sepatutnya berkendara dengan konsentrasi maksimal.
(edo rusyanto)
KEMBALI KE ARTIKEL