SEBUAH mobil multi purpose vehicle (MPV) nyelonong begitu saja. Padahal, lampu pengatur lalu lintas jalan alias lampu merah (lamer) masih berwarna merah. Kejadian Minggu (5/2/2012) sore itu, boleh jadi pemandangan rutin di jalan-jalan Jakarta. Masih di tempat yang sama, di kawasan Jl Pasar Minggu Raya arah perempatan Pancoran, Jakarta Selatan, sebuah low MPV berhenti seenaknya, persis di depan garis setop atau garis putih. Pasti dianggap hal lazim di Jakarta. Kebiasaan berhenti di depan garis putih bukan monopoli para pemotor. Para pemobil juga seakan tak peduli. Mereka menerabas marka jalan. Kita semua tahu, marka garis putih mewajibkan para pengendara berhenti di belakang garis tersebut. Saya mengira-ngira, tujuan aturan itu untuk membuat kondisi lalu lintas jalan menjadi lebih nyaman, aman, dan selamat. Jika pengendara berhenti secara tertib, para pejalan kaki juga bisa lebih nyaman. Umumnya, di perempatan jalan ada fasilitas penyeberangan bagi pejalan kaki. Fasilitas itu berupa garis mirip belangnya kuda zebra maka disebut zebra cross. Ketika para pengendara melahap garis setop plus zebra cross, ujung-ujungnya pejalan kaki harus ‘bersusahpayah’ melintas. Saking padatnya kendaraan, kadang pejalan kaki harus ekstra waspada agar tak dicium kendaraan. Duh. Lantas, kenapa kita ‘bosan’ berhenti di belakang garis setop yang ujungnya melibas marka tersebut? Terlalu lamakah antre menanti pergantian lampu merah ke lampu hijau? Tidak mau peduli dengan sesame pengguna jalan? Ingin buru-buru sampai ke tempat tujuan? Tidak tahu makna garis setop?
(edo rusyanto)
KEMBALI KE ARTIKEL