Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Belajar dari Petani Duren

8 Januari 2012   03:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:11 298 0
BANYAK penikmat buah durian atau duren. Selain menikmati daging buahnya yang legit, rasa manis sibuah ‘buruk rupa’ bikin banyak orang ketagihan. Tapi, bagi mereka yang tak suka, aromanya yang menyengat saja sudah bikin pusing kepala. Saya termasuk yang suka. Petani duren di Purworejo, Jawa Tengah termasuk yang berjasa memasok buah berbiji itu ke pasar. Saya baru ngeh saat menyaksikan program ‘Tumbuh Jelang Siang’ di siaran televisi swasta Trans, Kamis (5/1/2012) berkisar pukul 12.40-12.50 WIB. “Saat musim panen, petani bisa memetik 50-200 buah per hari,” ujar Yessi Pasha, sang presenter. Dalam tayangan itu disorot bentuk duren dan pohonnya yang rimbun. Buah duren bergelantungan di atas pohon. Saat Yessi hendak melepas helm halfface berwarna merah, sontak sang bapak petani duren berseloroh. “Jangan dicopot, helm untuk antisipasi karena tidak bisa diduga kapan duren jatuh.” Sang bapak bercerita, pernah ada petani yang meninggal akibat ketiban duren. Sang korban tidak memakai helm. Entah karena bergidik atas cerita itu, atau tumbuh kesadaran, Yessi pun kembali memakai helm. Keren. Bayangkan, untuk berada di tengah kebun duren saja, kesadaran sang bapak akan keselamatan demikian besarnya. Saya menduga, saat bersepeda motor pun, sang bapak memakai helm sebagai perlindungan. Maklum, risiko di jalan raya bakal berkali lipat dibandingkan di dalam kebun. Ada ratusan, bahkan ribuan kendaraan yang wara-wiri. Ada beragam perilaku pengendara. Ada sejumlah pergerakan mendadak yang bisa muncul setiap saat. Ada kondisi infrastruktur jalan yang tak semuanya prima. Helm sebagai perlindungan kepala saat kita berkendara. Sebuah ikhtiar agar tidak terlibat fatalitas buruk saat ketiban insiden kecelakaan di jalan. Masa gak belajar dari petani duren? (edo rusyanto)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun