Satu, kami mengaku bertumpah darah satu, Tanah Air tanpa berkendara ugal-ugalan di jalan. Kedua, kami mengaku berbangsa yang satu, bangsa minim fatalitas kecelakaan lalu lintas jalan. Ketiga, kami mengaku berbahasa satu, bahasa yang peduli sesama pengguna jalan. SUMPAH di atas mengadopsi Soempah Pemoeda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. Sumpah yang menjadi titik kulminasi sejarah panjang Indonesia itu, buat saya sesuatu yang luar biasa. Bayangkan, para pemuda saat itu, dengan lantang menyerukan sebuah bangsa yang satu, padahal di luar gedung pertemuan, penjajahan Belanda masih mencengkeram Indonesia. Sekadar menyegarkan ingatan, Soempah Pemoeda yang diikrarkan dalam penutupan Kongres Pemoeda yang berlangsung 27-28 Oktober 1928 tersebut mencakup;
SOEMPAH PEMOEDA Pertama : - KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA Kedua : - KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA Ketiga : - KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA Djakarta, 28 Oktober 1928 Lalu apa hubungannya dengan ‘sumpah’ yang tertulis dalam awal artikel ini? Saya hanya sekadar menorehkan uneg-uneg dari realita yang ada. Kini, bangsa kita menghadapi sebuah problem yang tak kalah pelik dibandingkan dengan aneka problem yang ada saat ini. Problem itu bernama, kecelakaan lalu lintas jalan. Sepanjang 2007-2010, catatan Kepolisian menunjukan bahwa pelaku dan korban kecelakaan didominasi oleh usia muda, yakni 16-40 tahun.
(lihat tabel korban kecelakaan berdasarkan usia) Sebagai gambaran, pada 2010 saja, ada sekitar 31.234 jiwa yang tewas sia-sia akibat kecelakaan. Tahun itu, tak kurang dari 50% korban kecelakaan adalah usia muda. Usia yang masih produktif dan menjadi harapan bangsa. Bagaimana nasib bangsa jika generasi mudanya ’dirusak’ oleh kecelakaan. Kita tahu, kecelakaan membawa petaka. Korbannya bisa luka fisik, trauma, bahkan meninggal dunia.Ironisnya,
pemicu utama kecelakaan tersebut adalah faktor manusia. Tentu saja, faktor lain juga turut andil, namun konon lebih minim, yakni faktor jalan dan faktor kendaraan. Faktor manusia digadang-gadang mencapai sekitar 90%. Di antara beragam faktor manusia, yang menonjol adalah ketidakdisiplinan berkendara dan faktor kelengahan saat berkendara. Akankah kita mendiamkan generasi muda terus menjadi korban kecelakaan? Pasti banyak yang menjawab tidak rela untuk berdiam diri. Langkah awal dan cukup bagus adalah dari diri sendiri. Berkendara yang penuh konsentrasi dan peduli dengan sesama pengguna jalan. Tentu saja, dibingkai oleh kesediaan untuk mentaati aturan lalu lintas jalan yang ada. Keselamatan harus menjadi kebutuhan, bukan semata kewajiban. Siapa sih yang gak mau pulang dan pergi selamat saat berkendara. Betul gak?
(edo rusyanto)
KEMBALI KE ARTIKEL