Mohon tunggu...
KOMENTAR
Otomotif Pilihan

Kenapa Jakarta Macet? Ini Lho...

12 November 2014   16:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:59 110 0
Jakarta kota tidak nyaman. Jakarta pasti identik dengan kata macet, banjir dan semrawut. Memang benar, hal itu sangat identik dengan kota tercinta ini. Disaat orang berangkat dan pulang dari kantor, Jakarta serasa bagai neraka.

Ngomong Jakarta di dalam pikiran anda pasti terbersit kemacetan. Macet menjadi rutinitas warga Jakarta. Apalagi di jam-jam berangkat kerja atau pulang kerja sore hari Hal ini pula yang menyebabkan orang lebih memilih menunggu di kantor sampai jam 8 malam untuk menghindari kemacetan saat pulang kantor. Terkadang, kafe-kafe  atau gerai kopi pinggir mall seperti Starbucks menjadi tempat persinggahan yang baik untuk beristirahat saat macet.

Dari sejak gubernur Fauzi Bowo, Sutiyoso atau gubernur terdahulu semua gagal mengatasi persoalan macet dan banjir.

Kenapa para gubernur itu gagal? Kenapa Jakarta macet dan banjir?  Jawabannya simpel tapi penyelesaiannya sulitnya minta ampun.  Mau tahu jawabannya? Ini dia: Perencanaan dan pengelolaan tata ruang Jakarta kacau.

Dinas Tata Ruang dan Bangunan dengan mudahnya mengeluarkan ijin pembangunan gedung pencakar langit disana sini. Sementara Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Dinas Perhubungan, Dinas Kebersihan, Dinas Kependudukan yang akan terkena dampak dari aktivitas ekonomi gedung pencakar langit tak berkutik atau justru mendukung perencanaan tak jelas tersebut.

Dan bisa jadi kebijakan tersebut juga berasal dari pemerintah pusat yang punya hak mengintervensi tata ruang di DKI Jakarta.

Jakarta kini jadi hutan beton dan hutan mal, apartemen dan perkantoran. Di sini terdapat lebih dari 120 Mall dan ratusan perkantoran. Semua ingin di Jakarta, berkumpul, berdesakan, berjejalan hingga lahan nyaris habis. Pemilik uang dan gedung perkantoran itu telah menghabiskan lahan di Jakarta. Hingga untuk sekadar menghirup oksigen bersih warga Jakarta kesulitan karena langkanya taman kota atau ruang terbuka hijau.

Dalam artikel ini saya tidak perlu membahas kekacauan tata ruang di Jakarta karena secara kasat mata sudah terlihat jelas. Semua lahan di Jakarta yang sudah sempit, tidak ada sejengkalpun yang tidak dikuasai swasta. Dan lahan tersebut hanya diproyeksikan untuk membangun gedung.

Dalam tulisan ini saya hanya ingin menuangkan ide dan gagasan yang menurut saya menjadi solusi mengurai kemacetan di Jakarta dan banjir. Namun kemungkinan besar sulit diwujudkan karena terkait tata ruang yang tidak lepas dari kepentingan pemilik uang dan lahan di Jakarta.

Pertama, kenapa Jakarta macet? Karena aliran arus perjalanan jutaan warga dari daerah penyangga ibukota menuju Jakarta untuk aktivitas dan bekerja di kantor. Mereka berdatangan dari Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang.

Saya membuat survey otodidak saja. Yakni mengamati pergerakan lalin di Jakarta yang macet. Jam berapa saja dan dimana saja kemacetan berlangsung. Hasil Survey yang saya lakukan menyimpulkan bahwa kemacetan yang terjadi di Jakarta ibarat air bah bergerak atau banjir bandang.

Dia bergerak mengikuti arus perjalanan warga. Jika pagi hari arusnya akan bergerak dari Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi menuju Jakarta. Sebaliknya jika sore hari arus kemacetan bergerak dari Jakarta menuju Depok Bogor, Tangerang dan Bekasi.

Tempat yang saya survey, sementara waktu di jalur lalu lintas dari istana negara sampai Ciputat, Jakarta Selatan.

Coba perhatikan antara jam 4 sore sampe jam 7 malam maka lalu lintas di kawasan Jalan Medan Merdeka, jalan protokol Jalan MH Thamrin, Sudirman sampai bundaran Senayan, macet total. Demikian pula di kawasan Rasuna Said hingga Mampang Prapatan. Semua kendaraan karyawan yang bekerja di gedung-gedung pencakar langit seolah janjian, semua keluar menuju jalan Thamrin-Sudirman, Rasuna Said, Kuningan, untuk pulang ke rumah.

Sementara jam 4 sampe 5 sore, di kawasan Blok M masih bergerak normal karena belum kedatangan rombongan mobil dari Thamrin Sudirman yang sedang bermacet-macetan tadi. Nanti begitu jam 7 malam sampe jam 9 malam Blok mulai macet karena sudah "kebanjiran" arus mobil dari Thamrin-Sudirman menuju arah Depok, Bekasi, Bogor dan Tangerang. Dan jam 9 malam Thamrin sudah mulai surut kepadatannya.

Sementara jam 4 sore sampe jam 6 sore di kawasan Lebak Bulus hingga Ciputat masih normal dan lancar. Macetnya wilayah ini biasanya terjadi antara jam 8 malam hingga jam 12 malam. Tumpahan juga dari pergerakan Thamrin-Sudirman dan Blok M.

Jalur-jalur kemacetan tersebut bergerak di dalam arus lalin yang terkait dengan perjalanan warga dari kantor di Jakarta menuju rumah mereka di kawasan pinggiran daerah penyangga ibukota.

Artinya, kemacetan itu terjadi seperti banjir bandang. Bergerak menuju arah penyangga ibukota seperti Tangerang, Depok, Bogor, Bekasi.

Menurut hemat saya, inilah salah satu faktor penyebab kemacetan yang terjadi. Jakarta dijejali gedung perkantoran dan mal. Otomatis aktivitas pusat perkantran dan warga bekerja, bertumpu di Jakarta.

Warga yang tadinya tinggal di Jakarta tergusur akhirnya minggir di wilayah penyangga. Padahal dia masih bekerja di Jakarta. Kita bisa lihat dengan belakangan ini sekolah di Jakarta mulai kekurangan siswa dan sekolah di kawasan Bodetabek kebanjiran siswa.

Menurut sensus 2010 di Jakarta terdapat 9.607.787 penduduk dan jumlahnya membengkak menjadi 12 juta warga saat jam bekerja.

Solusi dari saya: Ayooo kita tata ulang tata ruang di Jakarta. Buat Jakarta lebih nyaman bagi warganya. Caranya? Membangun Jakarta dan lahan yang masih tersisa dengan cara seperti ini. Dalam satu kawasan dengan area satu hektar misalkan. Disini dibangun gedung perkantoran, tempat hunian bisa apartemen murah atau rumah susun layak dan ruang terbuka hijau atau taman dengan luas sekitar 1.000 meter persegi.

Semua terintegrasi. Didekat gedung perkantoran tersebut disiapkan hunian kelas menengah atas untuk level manajer. Dan ada pula penyediaan hunian untuk staf karyawan biasa dengan gaji standar. Sehingga mereka tidak perlu jauh jaraknya antara rumah dan kantor.

Jadi warga yang punya pekerjaan di Jakarta tidak usah tinggal lagi di kawasan penyangga. Begitu sebaliknya, swasta dan pemerintah juga membangun gedung perkantoran dan menggerakkan aktivitas ekonomi di Bodetabek. Jadi warga yang ingin bekerja di kantor Bodetabek cukup tinggal dan punya rumah di sekitar situ. Kita kurangi aktivitas perjalanan dari Bodetabek ke Jakarta.

Jika seorang warga bekerja di gedung perkantoran di daerah Jalan Setiabudi, Kuningan, Jakarta selatan misalkan. Maka dia wajib tinggal di apartemen dalam jarak 100 meter dari gedung perkantoran tersebut. KTP dia wajib warga di kawasan jalan Setiabudi.  Sehingga dia tidak lagi menempuh dari Bodetabek ke Jakarta dengan "perjuangan" berat bermacet-macet ria.

Nah, kluster kantor yang menyatu dengan tempat hunian juga mesti dilengkapi ruang terbuka hijau. Tujuannya, taman kota ini bisa digunakan para karyawan untuk bersosialisasi saat istirahat kerja. Atau mereka berkumpul bersama keluarganya anak istri di taman saat hari libur atau pulang kerja.

Tata ruang seperti ini ditata dalam konsep kluster-kluster dan merata bukan hanya di Jakarta karena lahannya pasti sudah langka. Tapi dikembangkan di daerah penyangga atau wilayah yang masih luas lahannya seperti di Jonggol.

Saya kadang sulit memahami ketika seorang developer jor-joran membangun kota mandiri di beberapa kawasan. Sebut saja daerah Serpong Tangerang Selatan. Banyak bermunculan produk properti dari mulai rumah tapak, apartemen sampe mal.

Namun di daerah tersebut tidak ada aktivitas ekonomi perkantoran besar. Akibatnya banyak warganya yang bekerja di Jakarta. Jika pagi sampai sore kota tersebut sepi karena ditinggal penghuninya bekerja di Jakarta.

Kenapa tidak kita satukan saja, kita sinergikan lingkungannya. Gedung perkantoran dan kantor pusat perusahaan besar jangan hanya didirikan berjejal ngumpul di Jakarta saja, tapi menyebar ke wilayah penyangga. Dan kawasan tersebut standarnya wajib dilengkapi dukungan tempat hunian bagi pekerjanya agar mereka tidak lagi berangkat ke kantor naik kendaraan tapi cukup jalan kaki.

Mudah-mudahan konsep ini akan mengurangi dan mengurai kemacetan lalu lintas di Jakarta. Yakni dengan pola menyebar aktivitas ekonomi yang saat ini tertumpu di Jakarta. Sehingga aktivitas ekonomi dan kantor bisa merata ke Depok, Tangerang, Bekasi dan Bogor. Bahkan jika perlu disebar hingga Purwakarta dan Indramayu agar lebih banyak lahan pekerjaan disana.

Para kompasianer diantara anda mungkin pesimis dan menganggap gagasan ini sulit dilakukan dan terlalu simpel. Namun saya punya keyakinan besar jika sumbu perekonomian tidak bertumpu di Jakarta tapi disebar ke daerah lain, saya optimis warga tidak berduyun-duyun ber urbanisasi, mencari makan di Jakarta.

Warga akan tersebar di berbagai wilayah sehingga macet bukan lagi pemandangan buruk sehari-hari di kota metropolitan ini... Semoga... Nah untuk solusi banjir tunggu ya tulisan saya selanjutnya... Bersambung..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun