Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Kenapa Calon Kapolri Jadi Tersangka?

14 Januari 2015   15:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:10 205 0
Oleh : Edi Winarto

Setelah sepi dari berita pengungkapan kasus-kasus besar sejak Joko Widodo dilantik sebagai Presiden, awal 2015 ini, KPK secara mengejutkan meledak kembali. Tidak tanggung-tanggung, kali ini "korbannya" calon Kapolri, Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan. Kenapa KPK menjadikan Budi Gunawan (BG) Tersangka?

Sejak Juli 2014, KPK bekerja keras berusaha mengungkap kenapa ada transaksi mencurigakan di rekening sejumlah jenderal Polri, termasuk beberapa rekening yang terkait dengan BG. Pada akhirnya KPK menemukan dua alat bukti kuat, beberapa transaksi mencurigakan yang janggal. KPK pun menaikkan tingkat penyelidikan ke penyidikan kasus ini pada 12 Januari 2015.

Dalam penyelidikan yang diperoleh KPK, disana terungkap ada transaksi mencurigakan yang mengarah pada transaksi janggal. Sehingga dari transaksi tersebut KPK berkesimpulan sementara dalam publik eksposenya bahwa BG melakukan pidana korupsi karena diduga menerima janji saat yang bersangkutan menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir di Mabes Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya di Mabes Polri.

Kepala Lembaga Pendidikan Polri ini dinilai melanggar pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya.

Apabila terbukti melanggar pasal tersebut dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Usai menetapkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka, beberapa menit kemudian KPK menemui Kapolri. Apa tanggapan Kapolri Jenderal Sutarman atas penetapan anggotanya?

Sungguh diluar dugaan. Kapolri menghormati proses hukum yang dilakukan KPK.

Padahal Bareskrim Polri di 2010 pernah melakukan verifikasi terkait transaksi mencurigakan yang ditemukan PPATK di dalam rekening Komjen Budi Gunawan. Hasilnya, tidak ada tindak pidana dalam penelusuran itu. Sementara KPK menganggap ada transaksi mencurigakan di rekening BG.

Menanggapi soal perbedaan temuan ini Kapolri bersikap netral. Sutarman menyatakan jika ada bukti baru (novum), kasus tersebut bisa dibuka kembali.

Cukup menarik mencermati perkembangan pencalonan BG sebagai calon Kapolri oleh Presiden Jokowi. Hingga muncul penetapan BG sebagai tersangka oleh KPK secara mengejutkan dan mendadak.

Apalagi sikap netralitas Kapolri Jenderal Sutarman dalam menyikapi kasus ini. Beda dengan Polri dulu yang secara berlebihan membela anggotanya Komjen Susno Duadji saat ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Kali ini Jenderal Sutarman lebih bijak dan cerdas dalam bersikap menghadapi masalah yang mendera anak buahnya.

Kasus ini seharusnya menjadi pengalaman penting Presiden Jokowi dalam menetapkan calon pejabat ke depan. Yakni konsistensi dan komitmen dalam menjaga integritas. Jika dalam memilih calon menteri, pak Jokowi sudah "on the track" dengan melibatkan KPK dan PPATK untuk melihat jejak rekam calon pembantunya, demikian pula dalam memilih calon Kapolri, Calon Ka BIN dan seterusnya hingga level direksi BUMN dan pejabat eselon dua hingga satu.

Jangan hanya diawal pemerintahan saja menunjukkan kepada publik bahwa Jokowi akan membangun manajemen yang bersih. Namun komitmen itu harus dilakukan selama 5 tahun memerintah. Hindari intervensi dan like or dislike.

Termasuk dalam hal pencalonan Kapolri. Jokowi perlu mendiskusikan regenerasi di Polri ini bersama Kapolri Jenderal Sutarman. Sehingga Jokowi bisa menghormati institusi Polri yang kini sedang dipimpin Jenderal Sutarman. Minimal jika Jokowi meminta saran dan masukan dari Kapolri, maka dukungan lembaga ini akan sangat besar terhadap kandidat yang akan membantu Presiden dalam kerangka keamanan dalam negeri.

Menurut hemat saya pencalonan Kapolri adalah wilayah yang cukup sensitif. Karena menyangkut jenjang karir dan prestasi. Termasuk bagaimana meredam rivalitas yang memang tidak tampak secara kasat mata di publik. Tanpa mengecilkan dinamika para jenderal berprestasi yang juga bermimpi ingin bisa memimpin institusi Polri untuk melakukan perubahan ke arah lebih baik. Sehingga Presiden harus lebih berhati-hati dalam menseleksi pilihannya.

Faktor menyerap saran dan masukan pimpinan Polri menjadi salah satu cara mendapatkan calon yang terbaik. Biasanya pak Jokowi suka "blusukan". Nah, saran saya, cobalah sebelum menetapkan calon Kapolri serap dulu situasi di tubuh Polri dengan cara blusukan dan mendengar aspirasi dan dinamikanya.

Kemudian uji publik. Bagaimana tanggapan publik menerima sosok yang menjadi kandidat. Sehingga alangkah lebih eloknya, jika presiden mengajukan lebih dari satu nama agar memberikan ruang kepada publik untuk ikut berpartisipasi.

Karena bagaimanapun institusi Polri sudah menjadi milik rakyat. Harapan publik terhadap Kapolri baru sangat besar dalam melanjutkan reformasi di tubuh Polri yang sudah dijalankan para Kapolri sebelumnya.

Menjadikan sosok polisi yang profesional melayani, mengayomi dan melindungi tanpa mendiskriminasi berdasarkan kekuasaan, kedekatan, politik dan materi.

* Wartawan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun