Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Pilihan

Masih Berjibaku untuk Perut, Lockdown Bukan Pilihan

9 Januari 2021   19:42 Diperbarui: 9 Januari 2021   19:50 138 5
Jika pertanyaan ringan disampaikan sayang nyawa atau tetap nekat beraktivitas di tengah pandemi? Jawaban yang keluar bagi mayoritas masyarakat adalah tetap beraktivitas untuk menyambung hidup demi mempertahankan nyawa.

Ketika terkena virus covid-19, sebagian pun sudah berbicara sebagai konsekuensi. Jika meninggal itu sudah takdir. Terasa pilu, memang. Kepasrahan itu mewarnai ancaman penularan covid-19 yang tidak mereda tetapi malah meningkat sepanjang pekan ini.

Grafik menunjukkan bahwa penambahan pasien terus menaik sejak Rabu (6/1). Dimulai dengan 8.854 orang, lalu pada Kamis (7/1) menjadi 9.321 orang, dan puncaknya Jumat (8/1) yaitu 10.617. Sabtu (9/1) ini penambahan kasus menurun menjadi 10.046 kasus baru.

Angka jumlah kasus yang tidak sekadar ratusan, kemudian meningkat menjadi ribuan, dan sekarang puluhan menuju belasan ribu tentu sangat mengkhawatirkan bagi semua kalangan.

Namun, khawatir saja tidak menjawab soal. Bagi masyarakat kebetulan mayoritas yang tidak memiliki tabungan untuk bertahan hari ini, besok, bulan ini, apalagi untuk setahun ke depan. Tidak ada pilihan lain selain berjibaku.

Jibaku dalam artian harus dengan terpaksa bertabrakan diri dengan bahaya virus corona yang beterbangan di atmosfer, di depan hidung kita.

Kebijakan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) se Jawa-Bali tak lebih sebagai pengingat adanya bahaya tetapi bukan berarti harus mengendurkan semangat mencari nafkah dengan beraktivitas di luar rumah.

Sebagian masyarakat pesimistis PPKM akan mengurangi penularan karena masyarakat sudah pada taraf jenuh  dalam menjalankan protokol kesehatan. Bahkan, pada tataran tertentu sudah bersikap apatis.

Pembatasan jam operasional fasilitas umum hingga pukul 19.00 waktu setempat termasuk transportasi dibatasi pukul 20.00 waktu setempat dinilai semakin menyulitkan di tengah keterpurukan  ekonomi dan ancaman wabah yang melonjak.

PPKM bagai tidak berlaku bagi sektor nonformal. Buruh pabrik yang diupah berdasar jam kerja tentu pembatasan itu makin menyulitkan. Apalagi ketika jam kerja hingga larut malam dan melintas antar kota.

Ketika PPKM saja sudah dianggap menyulitkan maka pilihan lockdown alias penguncian wilayah bukan solusi bagi mayoritas masyarakat. Pengetatan dengan menutup mobilitas sangat sulit dilakukan dalam kehidupan yang belum sepenuhnya bergerak di bidang teknologi jasa.

Jika di dunia maju di mana jaminan sosial tinggi dan dominasi pekerja adalah sektor jasa dengan pemanfaatan kemajuan teknologi mungkin lokcdown bisa menjadi pilihan.

Namun bagi masyarakat agraris yang masih membutuhkan kehadiran fisik dalam suatu pekerjaan maka upaya lockdown adalah bagian dari mempercepat pembunuhan itu sendiri. Bagaimana misalnya buruh pabrik harus datang dan bekerja, ia diupah berdasar jam kerja maka kebijakan lockdown menjadi pil pahit.

Saat ini, kita berharap agar suntik vaksin bisa segera cepat dilakukan. Keberhasilan banyak negara dalam melakukan vaksinasi akan berdampak pada kekebalan masyarakat dunia yang berimbas kepada Indonesia pula.

Demikian pula vaksinasi nasional yang mulai dijalankan minggu depan di Indonesia bisa dipercepat dalam pelaksanaannya sehingga tahun ini kekebalan kelompok masyarakat semakin bisa terbangun.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun