Temuan sang bupati menyanyat hati. Betapa tidak. Suatu lembaga finance swasta telah menjadikan Banpres UMKM jadi bantalan untuk menjerat ibu-ibu rumah tangga dalam praktik utang.
Menurut Sehan warga diwajibkan meminjam ke finance tersebut sehingga menjadi nasabah. Kemudian mereka didaftarkan untuk mendapatkan jatah bantuan presiden untuk UMKM yang sebenarnya cuma-cuma sebesar Rp 2,4 juta tersebut.
Senin (21/12), sang bupati menemukan fakta warganya antri di BRI untuk menerima banpres itu. Sekitar 120 ibu-ibu menunggu di bank pelat merah itu. Bupati yang akan pensiun Februari itu menemukan fakta yang mencengangkan, sekaligus membuat marah.
Ternyata, ibu-ibu itu mendapatkan pinjaman Rp 3,4 juta dari finance yang mengkoordinir ibu-ibu. Dari uang itu sebesar Rp 700 ribu ditinggal ke finance sebagai simpanan. Jadi ibu-ibu itu mendapatkan cash sebesar Rp 2,7 juta.
Kemudian ia wajib mengembalikan pinjaman itu dengan mencicil per minggu Rp 250 ribu selama 25 kali. Total pengembalian berarti Rp 6.250.000 untuk pinjaman selama enam bulan seminggu itu.
Ada selisih bunga sebesar Rp 3.550.000. Atau sebesar 130 persen. Jadi meski ibu-ibu mendapat bantuan presiden Rp 2,4 juta, sebenarnya tidak mendapatkan apa-apa malah nombok 1.150.00,-
Dari kewajiban nombok Rp 1.150.000, memang bisa dikurangi potongan awal Rp 700 ribu. Namun, biasanya akan tetap disimpan di finance tersebut karena sebagian besar nasabah akan kembali berutang.
Mata rantai utang dan utang dengan cara instan banyak terjadi. Apalagi banyak finance meski terdaftar di OJK kadang menutup syarat-syarat yang harus dipenuhi calon debitur.
Perusahaan pembiayaan atau Finance tutup mata demikian pula ibu-ibu tak mau banyak pusing yang penting dapat pinjaman. Padahal beban bunga 130 persen. Inilah kondisi riil masyarakat yang kian parah di masa pandemi Covid-19.
Kebijakan Kementerian Koperasi dan UKM Nomor 6 Tahun 2020 menyebutkan bantuan presiden Rp 2,4 juta hanya mensyaratkan perusahaan pembiayaan yang telah terdaftar di OJK.
Celah itulah yang dimanfaatkan lembaga finance untuk berlomba-lomba mengusulkan plafon pembiayaan kepada kementerian koperasi dan UKM. Bahkan, memanfaatkan banpres BLT Covid-19 di tengah pandemi ini untuk menjaring nasabah.
Kementerian Koperasi dan UKM pun pada awal Desember 2020 menglaim teah menyalurkan banpres produktif hampir 92 persen atau 11 juta dari 12 juta usaha mikro. Bila dihitung sudah Rp 26,4 triliun dibagikan dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT).
Apakah sebagian penyalurannya seperti temuan Bupati Boltim? Bila itu yang terjadi tentunya bantuan mulia pemerintah dari gagasan Jokowi itu justru membuat lubang penderitaan baru bagi masyarakat.
Ibu-ibu yang menjadi nasabah dari finance tersebut diyakini sebagian bukan pelaku usaha UMKM. Jika mereka pengusaha akan berhitung dengan kewajiban bunga sebesar 130 persen pasti akan menolak.
Namun, yang terjadi adalah ibu-ibu yang terpaksa harus mempertaruhkan beban berat kewajiban mencicil untuk dipikir di kemudian hari.