Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Enam Istri Menang Pilkada, Emansipasi atau Dinasti?

22 Desember 2020   14:42 Diperbarui: 22 Desember 2020   15:05 366 9
POLITIK dinasti kasat mata. Oligarki kekuasaan tak terbantahkan. Raja-raja kecil di banyak daerah bukan karena darah biru. Mereka menciptakan klaster baru yang tumbuh dari dominasi partai politik.

Dalam Pilkada 2020, muncul banyak srikandi yang memenangkan pemilihan bupati dan walikota. Namun, ada pula yang karena mereka berlatar istri dari pejabat bupati atau walikota lama yang sudah tidak bisa maju kembali.  Para istri  itu besar dan ikut tumbuh besar bersama suami yang lebih dulu menjadi kepala daerah.

Setidaknya ada enam istri  bupati/walikota yang berhasil menang dalam Pilkada 2020 ini. Di Kabupaten Sleman, DIY, ada Kustini Sri Purnomo. Kader PDIP berusia 60 tahun itu akan melanjutkan suami memimpin daerah penghasil salak pondok itu. Ia akan menggantikan sang suami Sri Purnomo yang menjabat bupati periode 2015-2020.

Kemudian Etik Suryani yang meneruskan suami H. Wardoyo yang sudah dua periode menjadi Bupati Sukoharjo, Jawa tengah. Kader PDIP berusia 57 tahun ini akan memimpin daerah yang berbatasan dengan Solo yang akan dipimpin anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.

Ke wilayah Banyuwangi akan dipimpin istri mantan bupati dua periode Azwar Anas. Sang istri Ipuk Festiandani (44) juga kader dari PDIP telah memenangkan Pemilihan bupati. Wanita bergelar Sunrise of Java ini akan meneruskan suaminya yang dianggap banyak berhasil memimpin wilayah ujung timur dari wilayah Jawa itu.

Beralih ke Sumatera akan didapatkan tiga istri yang juga akan meneruskan kinerja suami sebagai walikota dan bupati. Walikota terpilih Bandar Lampung Eva Dwiana akan menggantikan sang suami Herman HN. Wanita 50 tahun yang sudah berkiprah di DPRD Lampung itu akan menggantikan suami yang sudah 10 tahun memimpin Bandar Lampung.

Kemudian dari Kepulauan Riau ada juga wanita bupati terpilih Rezita Meylani Yopi yang akan meneruskan suaminya Bupati Indragiri Hulu (Inhu) Yopi Arianto yang telah menjabat dua periode. Kader Nasdem berusia 26 tahun, calon terpilih bupati termuda, itu memenangkan pemilihan yang sengit dengan selisih 308 suara.

Ada pula nama Kasmarni yang merupakan istri Bupati Begkalis Amril Mukminin periode 2015-2020. Kader Partai Golkar ini berhasil menang sekalipun sang suami ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK dengan kerugian Rp 5,2 miliar.

Tentu, masih ada nama lain yang mungkin terlewat dalam tulisan ini. Namun, keenam calon bupati terpilih tersebut sudah menunjukkan bagaimana kekuasaan hanya berputar pada keluarga, yaitu istri meneruskan suami.

Bukti oligarki di mana kekuasaan dipegang oleh kelompok elit kecil. Ini  tercermin yaitu dalam satu keluarga. Selain mewariskan kekuasaan kepada anak, oligarki juga tercermin dari pemindahan status penguasa sari suami beralih kepada istri.

Lahirnya kecenderungan ini, karena partai politik memiliki keterkaitan erat dengan sang pejabat lama. Misalnya, Yopi yang hijrah dari Golkar menjadi Ketua DPW Nasdem Riau menjelang Pilkada. Akhirnya rekomendasi jatuh kepada sang istri. Mungkin jika di partai lama beda rekomendasi.

Aturan pencalonan yang mensyaratkan 20 persen kursi DPRD juga membuat terbatasnya calon yang bisa maju dalam Pilkada. Akibatnya, faktor penentuan mutlak di tangan parpol. Tawar-menawar merupakan suatu keniscayaan.

Hasil bergaining itu, bisa jadi tercermin dari sosok yang akhirnya diusung parpol. Tak heran jika masyarakat kaget dengan kandidat parpol yang di luar dugaan. Termasuk, mendadak istri muncul dinominasikan.

Para istri yang menjabat bupati/walikota tentu tidak akan terlepas dari bayang-bayang suami. Bahkan, program kerja kerap hanya meneruskan apa yang sudah dirintis sebelumnya. Bersyukur jika pejabat sebelumnya berhasil kalau tidak tentu hanya akan membuat beban rakyat makin berat.

Munculnya, pemimpin daerah yang berasal dari trah ini menunjukkan minimnya sirkulasi kepemimpinan daerah. Sungguh ironis jika dalam 20 tahun bupati atau walikota adalah suami dan istri. Bagiamana tidak akan kembali muncul dinasti selanjutnya, seperti  diteruskan kepada anak atau menantu, dan kerabat.

Kemunculan para istri memenangkan Pilkada ini bisakah sebagai cermin sebagai emansipasi? Bila emansipasi hanya dibatasi sekadar gender tentu bisa dibenarkan. Tetapi jika emansipasi dikaitkan dan karya dan prestasi masih perlu diuji.

Semoga saja di hari Ibu ini, meski mereka berstatus bupati/walikota dari istri mantan bupati/walikota tetapi berhasil dalam berkiprah membawa kemajuan kepada rakyatnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun