Barack Obama mengatakan tidak habis pikir kenapa Presiden Donald Trump bisa menjadi idola. "Kok bisa ya orang seperti Trump diidolakan?" Obama yang pernah tinggal di Jakarta itu mempertanyakan.
Anak Menteng itu juga meragukan apakah Trump benar-benar tahu problem rakyat kebanyakan. "Bagaimana bisa ia jadi simbol merakyat," katanya.
Bagi Obama, presiden adalah pelayan publik. Jika habis jabatan maka harus mengutamakan bangsa dan negara dan melampaui sikap ego sendiri atau kepentingan diri.
Presiden ke-44 itu menuturkan mengenai pembusukan kebenaran. Di mana demokrasi tertatih-tatih ke ambang krisis. Hal itu kian nyata dalam diri Trump. Awalnya kebenaran diabaikan, lalu direkayasa agar orang mulai meragukan kebenaran, dan akhirnya kebenaran itu dibusukkan.
Obama pun menyoroti telah terjadi perpecahan. Tidak hanya para politisi tetapi juga para pemilih. Amerika telah beralih dari tidak setuju menjadi saling membenci orang lain. Ia pun wanti-wanti pada sejarah Amerika di mana di bawah Abraham Lincoln terjadi perang saudara.
Ia masih belum bisa memastikan bagaimana transisi kepemimpinan dari Trump kepada Joe Biden. Apakah Trump akan mengadakan pesta kecil penyambutan terhadap presiden terpilih. Kemudian keluar dari ruang oval di Gedung Putih beriringan ke tempat pelantikan. Di mana Trump dan Melania akan menjadi bagian dari hadirin dalam acara pelantikan Presiden ke-46.
Potret Proses pemilihan presiden di AS nyaris potret yang terjadi di Indonesia. Meski, Prabowo Subianto sebagai rival kini bersedia bergabung dengan kubu presiden terpilih Joko Widodo tetapi residu kampret dan kecebong masih terus menggema hingga saat ini.
Kubu Loyalis Prabowo yang mati-matian memperjuangkan Prabowo memang tidak ikut gerbong Prabowo menuju Istana. Gerbong itu tidak ikut bergerak bersama Prabowo pada Oktober 2019 lalu. Ia bergerak ke arah lain ketika Prabowo menuju Istana Negara di jalan Merdeka Utara.
Mungkin gerbong itu memisahkan diri di Patung Kuda, belok kiri, ke kawassan Tanah Abang dan seterusnya. Mungkin ada yang ke kawasan Petamburan, ada yang kembali ke DPR sebagai partai opoisi. Ada yang kembali ke Cikeas. Â Artinya, memilih tidak dalam satu komando dengan mantan Danjen Kopassus itu.
Seperti halnya di Amerika saat ini, Trump masih terus teriak dicurangi oleh Joe Biden. Demikian pula di Indonesia nada-nada mirip Trump masih ada hingga kini meski bukan disuarakan Prabowo. Mereka menilai Pilpres 2019 penuh ketidakberesan.
Salah satu tokoh nasional yang pernah menjadi penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menilai Pilpres 2019 diwarnai korupsi intelektual dan korupsi material.
Hahamahua menyebutkan hal itu saat memberikan sambutan dalam tasyakuran milad ke-75 sekaligus deklarasi Partai Masyumi, Sabtu 7 November 2020 lalu.
"Pilpres yang terakhir, yakni 2019 terjadi political corruption, intelectual corruption dan material korupsi yang luar biasa," kata Hehamahua.
Hal itu menunjukkan adanya upaya mendelegitimasi keputusan dari sidang Mahkamah Konstitusi yang sudah mengetok palu menolak gugatan kubu Prabowo. Tetap memberikan  kemenangan kepada Jokowi-Ma'ruf Amin seperti diputuskan KPU.
Contoh pernyataan tersebut adalah bentuk-bentuk dari 'Trump Indonesia' yang tampaknya tidak bisa menerima fakta. Pemikiran yang statis, untuk bisa mengakui kekalahan masih banyak dalam benak sebagian para pendukung Prabowo yang kecewa atas kemenangan kedua Jokowi.
Upaya untuk merongrong penguasa terus dibangun. Seperti Obama bilang bahwa masyarakat telah beralih dari 'tidak setuju' menjadi suatu kebencian kepada orang lain. Bahkan, membenci kepada kelompok lain yang bukan merupakan bagian dari kelompoknya.
Seperti halnya ada tokoh yang kebetulan masuk kasta kelas satu dalam keagamaan selalu membangun narasi bahwa pemerintah yang sah telah melakukan kriminalisasi ulama. Membenturkan pemerintah dengan iman mayoritas sangatlah berbahaya bagi kehidupan kebangsaan.
Ulama termasuk habib dan ustaz adalah sosok yang selalu mendapat tempat di hati seluruh umat. Diperciknya api kebencian dalam masyarakat bahwa telah terjadi kriminalisasi ulama adalah upaya menabur benih untuk merongrong pemerintah.
Anehnya, ulama yang meniupkan kebencian tersebut kadang dalam tutur kata jauh dari etika. Bagaimana mungkin seorang ulama mendoakan pemimpin berusia pendek? Bagaimana seorang ulama yang berdarah nabi bisa berbicara l****?
Banyak orang menyarankan pemerintah agar merangkul kalangan mereka sehingga bisa beralih dalam satu frekuensi dengan pemerintah. Jokowi berhasil menggaet Prabowo tetapi apakah bisa kembali menarik gerbong-gerbong yang sempat tercecer dari kereta Prabowo?
Seperti Rizieq Shihab yang meminta syarat dilepaskannya semua tahanan terkait dengan upaya teroris seperti Abu Bakar Baasyir, kemudian deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia. Hal itu, Â merupakan suatu yang tidak mungkin dalam kaca mata hukum.
Setelah mereka dilepas baru Rizieq mau dialog dengan Presiden Joko Widodo adalah tawaran paling konyol. Saya kira Jokowi tidak pernah memikirkan opsi tersebut, jika mendengar pun mungkin segera dilupakan.
Rizieq adalah tokoh sekaligus ulama yang bergelar Habib. Biarlah ia menjalankan ketokohan dan keulamaannya.
Jika ada yang keliru terkait dengan relasi terhadap umat, masyarakat, dan kelompok lain, termasuk kepada negara biarlah hukum yang berjalan.
Seperti di awal tulisan ini, mengutip pernyataan Obama, "Kok bisa ya orang seperti ... diidolakan?"