Ada fenomena menarik, LHKPN Pejabat saat akhir menjabat hartanya tidak berubah signifikan, namun setelah lepas jabatannya mendirikan perusahaan dan langsung hartanya melimpah. Inikah gejala future gratification?
Future gratification, atau gratifikasi masa depan, merupakan praktik yang sering dibahas dalam konteks hukum yang melibatkan janji atau pengaturan untuk menerima manfaat atau keistimewaan setelah seseorang berhenti menjabat di suatu posisi atau kantor tertentu. Praktik ini, meskipun tidak selalu secara eksplisit ilegal, menimbulkan kekhawatiran etika dan hukum yang signifikan terkait korupsi dan potensi penyalahgunaan kekuasaan publik atau korporat.
Kerangka Hukum dan Implikasinya
Di Indonesia, gratifikasi secara luas didefinisikan sebagai bentuk manfaat apapun, termasuk uang, diskon, komisi, atau tiket perjalanan, yang diberikan dengan niat untuk mempengaruhi tindakan atau keputusan. Landasan hukum untuk menangani gratifikasi termasuk Pasal 12B dan 12C Undang-Undang Tipikor, yang bertujuan untuk mencegah praktik korupsi. Undang-undang ini bertujuan untuk membatasi perilaku tidak etis yang dapat merusak kepercayaan publik dan integritas institusi.
Penundaan Penyerahan dan Konsekuensi Hukum
Konsep menunda gratifikasi ke tanggal di masa depan, khususnya setelah meninggalkan jabatan, dapat menghindari konsekuensi hukum langsung namun menimbulkan pertanyaan tentang niat dan kesinambungan pengaruh.
Sementara hukum saat ini terutama mengatasi gratifikasi yang diterima selama masa jabatan seseorang, implikasi dari menunda gratifikasi melewati masa jabatan menyarankan perlunya penyesuaian regulasi untuk mencegah celah potensial dalam langkah-langkah anti-korupsi.
Celah tidak adanya regulasi untuk future gratification, memberikan peluang Pejabat yang bermental 'celah' untuk memanfaatkannya.
Pertimbangan Etika
Secara etis, praktik gratifikasi masa depan menantang prinsip transparansi dan akuntabilitas. Hal ini menekankan pentingnya tidak hanya kepatuhan hukum tetapi juga standar etika dalam tata kelola dan praktik korporat. Diskusi sering berputar pada membedakan antara manfaat pasca-layanan yang sah dan upaya ilegal untuk menghindari akuntabilitas.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, meskipun skema gratifikasi masa depan mungkin terlihat menghindari hukum anti-korupsi saat ini, mereka tetap kontroversial karena potensi mereka untuk merusak kepercayaan publik dan integritas institusi.
Mengatasi praktik ini memerlukan kerangka hukum yang kokoh yang dapat memprediksi dan mengurangi celah potensial, memastikan bahwa standar etika dijaga baik di sektor publik maupun swasta.
Dengan memahami kompleksitas ini, para pemangku kepentingan dapat lebih baik menavigasi batas tipis antara manfaat pasca-layanan yang sah dan skema gratifikasi ilegal, sehingga berkontribusi pada lingkungan tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel.