Hari ini saya coba klik lagi berita seputar
Runtuhnya Jembatan KUKAR yang kemarin diposting oleh
Mas Huldi Amal. Kebetulan kemarin saya sempat meninggalkan jejak disana. Saya cukup tergelitik membaca komentar dari
Pak Iwan Piliang ini (saya copas ya komentarnya disini)
Bang Huldi Amal yang baik, Lanjutkanlah mereportasi keadaan di lapangan. Narasikan saja, sebagaimana tulisan yang bagus ini. Lengkapi saja, ingat media visual tak akan mampu mendeskrispikan rasa, aroma, suasana dan rinci lainnya, bantulah publik seakan hadir di sana. Saya termasuk sosok yang muak dengan cara-cara liputan televisi kita. Juga banyak media online cenderung melakukan copy paste, tanpa mengirim reporter yang menjelankan elemen jurnalisme. Nah di tengah situasi demikian, sosok warga yang kemudian menjalan misi jurnalisme warga, sangat membantu kita memahami apa sesungguhnya terjadi. Saya tentu tak ingin ikut menduh teknis jembatannya, yang diduga belepotan mutu konstruksinya. Toh dari rentang usia, dugaan itu bisa jadi kaut sekali. Saya justeru terperanjat ihwal kutipan Anda pendapat sosilog di atas. Lantads saya menyimpulkan memang ranah tias politika kita bukan saja mafia kelas berat, tetapi mereka PENJAHAT GEMBEL kelas wahid! Tanpa terkecuali. Lebih sakti lagi mereka enggan menyadarinya bahwa mereka penjahata gembel kelas wahid itu! Kalau sudah begini, sesama rakyat saja kita berbuat. Dikirim Menteri 10 pun, esensinya bukan di sana dan ke sana. Saya kuatir, urusan satu jembatan ini awal dari “pembalasan” alam yang akan terus berlanjut. Toh jembatan layang Tomang di Jakarta, yang terindikasi retak satu bagiannya, juga terus dibiarkan, dan banyak pembiaran lainnya di republik ini, seperti di Kaltim sendiri, berapa banyak pembiaran GIZI BALITA buruk, di tengah pesta penambang dan perusahaan batubara yang tambun-tambun. Ada yang lebih besar masalah kita dari sekadar rubuhnya jembatan Kukar itu. Apa? Trias politika kita tak mengantar kepada meningkatnya mutu peradaban. Terima kasih tulisannya. IP Saya sengaja menebalkan kalimat dibagian itu karena kalimat itu cukup membuat saya kaget.
What? Ada juga jembatan layang di Tomang Jakarta sana yang juga terindikasi retak di salah satu bagian, tetapi tetap saja dibiarkan? Apa-apaan ini? Apakah harus menunggu korban dulu, baru diperbaiki? Apakah harus seperti nasib Jembatan di Kukar begitu, walaupun nyata-nyata dalam kondisi direnovasi tetapi masih juga difungsikan alias masih diperbolehkan orang melintas di jembatan itu? Saya kutip kalimat dari tulisan Mas Huldi ini ya
Saya terusik ketika seseorang berpakaian dinas pegawai negeri sipil, dari warna pakaian dinasnya saya tahu pasti dia pegawai Dinas Perhubungan, berbicara lewat telepon. Sepertinya dia menepon temannya. “Jembatan sudah putus, tuh!” Dia berdiri tepat di samping saya. Tanpa basa-basi, ia bicara soal perbaikan jembatan yang sedang dilakukan. “Jembatan ini memang rusak,” tukasnya, santai. Saya penasaran dan coba mengorek lebih jauh. “Sebenarnya, jembatan ini sudah akan kami tutup total dalam minggu ini,” jawab pria itu. “Kenapa tidak ditutup, Pak,” tanya saya lagi. Dia menjawab, “banyak masyarakat yang belum mau,” bebernya. Lagi-lagi saya sengaja pertebal kalimat itu, kenapa karena ternyata "oknum" Dinas Perhubungan itu sebenarnya tahu kalau jembatan itu berpotensi runtuh, tetapi terjadi pembiaran disana. Tidak mengerti saya dengan jalan pikiran "oknum" tersebut. Apakah hanya karena alasan masyarakat belum mau, terus keselamatan diabaikan. Bisa-bisanya "oknum" tersebut bilang masyarakat belum mau, memangnya masyarakat sudah ditanya langsung apa? Sudah ada survey sebelumnya? Ah, ternyata nyawa manusia itu tidak ada artinya dibanding "proyek" renovasi jembatan Kukar
. Semua orang juga banyak yang tahu kalau banyak sekali proyek-proyek di Kaltim ini yang sarat dengan nuansa korupsi disana-sini. Apalagi ini adalah proyek renovasi jembatan, yang notabene bukan jembatan kecil. Mengutip kembali kalimat Mas Huldi di tulisannya itu :
Ingatan saya melayang pada seorang peneliti Sosiologi kekerasan, Prof. Johan Galtung. Kalau tidak salah, ia juga membangun asumsi bahwa Negara (baca: pemerintah) tidak hanya bisa melakukan kekerasan terhadap warganya melalui mekanisme represif (aparat militer, polisi, dll). Represive State Aparatus (RSA), meminjam bahasa seorang pemikir Marxis, Louis Althusser. Thesis Galtung, ketika pemerintah mampu mencegah resiko yang mengancam nyawa warganya, tapi tidak melakukannya, maka itu adalah sebuah bentuk kekerasan. Semoga, tiga menteri datang tak sekadar anjangsana. Harus ada tindaklanjut yang jelas. Apa benar, telah terjadi praktik kekerasan seperti yang disitir Galtung. Jika benar, harus ada yang bertanggung jawab agar nyawa manusia tak terkorban sia-sia. Merujuk thesis Galtung itu, maka jelas terjadi "kekerasan" oleh pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Perhubungan. Dinas perhubungan sengaja membiarkan proyek renovasi jembatan itu terus berjalan dengan mengabaikan keselamatan pengguna jembatan. Akibatnya seperti yang akhirnya terjadi kemudian, jembatan runtuh, korban nyawa pun melayang. Sedih, miris, geram, dan jengkel, itulah mungkin perasaan yang banyak menghinggapi masyarakat Kaltim khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Koq pemerintah bisa-bisanya teledor begitu ya. Dan apakah keteledoran ini juga akan diulangi pada kasus jembatan Tomang di Jakarta sana, seperti yang dituturkan Pak Iwan Piliang diatas? Membiarkan jembatan itu retak di salah satu bagiannya, tetapi masih terus difungsikan? Saya jadi ingat pada liputan salah satu televisi swasta beberapa waktu lalu (maaf saya lupa tanggalnya). Di liputan itu ditunjukkan adanya salah satu jembatan di ibukota yang berpotensi runtuh karena ada beberapa bagian yang retak. Kebetulan saya sempat mengabadikan lewat kamera ponsel saya. Sayang saya lupa nama jembatannya, yang pasti itu di Jakarta, ibu kota negara kita. [caption id="attachment_146177" align="aligncenter" width="461" caption="inilah jembatan di Jakarta itu (mungkin ada yang tahu nama jembatannya)"][/caption]
KEMBALI KE ARTIKEL