Sebagai orang Jawa, tentu sudah tidak asing lagi dengan yang namanya wayang kulit. Karena wayang kulit ini sangat identik dengan kesenian dari Jawa. Pertunjukan wayang kulit biasanya dimainkan oleh dalang dan seringkali dipentaskan semalam suntuk. Lakon yang dimainkan pun juga bermacam-macam. Umumnya mengangkat kisah Mahabharata dan Ramayana. Saya pribadi tidak begitu tahu dengan lakon dan tokoh-tokoh yang ada dalam pertunjukan wayang kulit. Kalaupun saya menonton wayang kulit, biasanya saat adegan
"goro-goro" saja. Itupun juga terjadi ketika saya masih kecil, saat diajak oleh ayah saya. [caption id="" align="alignleft" width="220" caption="gambar dari google.com"][/caption] Bagi saya adegan "goro-goro" sangat menarik karena banyak sekali pesan moral yang disampaikan oleh sang dalang lewat tokoh wayang yang dimainkan. Tokoh wayang yang selalu dijadikan sebagai sang penyampai pesan itu, tak lain dan tak bukan adalah
Semar. Semar merupakan nama tokoh
punakawan atau abdi paling utama dalam pewayangan. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Karena merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa, maka tentu saja kita tidak akan menemukan nama Semar dalam naskah asli Mahabharata ataupun Ramayana yang berbahasa Sansekerta. Dalam lakon wayang kulit sebenarnya ada tokoh punakawan yang lain yang merupakan "anak-anak" dari Semar, yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Menurut salah satu literatur disebutkan bahwa sesungguhnya Gareng, Petruk dan Bagong bukanlah anak kandung Semar. Gareng sebenarnya adalah putra seorang pendeta yang dikutuk dan Semarlah yang telah berhasil membebaskan kutukan itu. Petruk sendiri sebenarnya adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sedangkan Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Namun demikian hanya tokoh Semar saja yang selalu hadir di setiap lakon apapun. Baik itu dalam pewayangan Jawa Tengah, pewayangan Sunda, ataupun pewayangan Jawa Timuran. Sementara ketiga punakawan yang lain belum tentu ada. Artinya tokoh Semar dianggap sebagai figur sentral dalam setiap pementasan wayang kulit karena merupakan sang penyampai pesan. Tentu saja gaya penyampaian pesan ala Semar tidaklah seserius tokoh wayang yang lain karena pada dasarnya Semar seringkali berbicara sambil bercanda. Nah, disinilah letak menariknya tokoh Semar bagi saya. Serius, tapi juga santai. Dengan cara "sersan" inilah mungkin diharapkan pesan moral lewat tokoh Semar, lebih mudah diterima dan dicerna oleh setiap penikmat pertunjukan wayang kulit. Dalam kisah Mahabharata, Semar ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh dari para Pandawa yang merupakan keturunan Resi Manumanasa. Sementara dalam kisah Ramayana, Semar juga ditampilkan sebagai abdi atau pengasuh Sri Rama dan Sugriwa. Sehingga boleh dikata tokoh Semar akan selalu muncul dalam setiap pementasan wayang kulit, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan. Dalam hal ini Semar tidak hanya berperan sebagai abdi atau pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang. Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Semar dikisahkan bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan merupakan penjelmaan dari Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru yang sekaligus juga merupakan raja para dewa. Memang ada beberapa versi tentang asal-usul dari tokoh Semar ini. Namun semua pada dasarnya menyebut bahwa tokoh ini merupakan penjelmaan dari dewa. Semar juga merupakan lurah yang berdomisili di
Karangdempel.
Karang berarti gersang. Sedangkan
dempel berarti keteguhan jiwa. Kalau kita perhatikan, betapa banyak filosofi dari tokoh Semar ini yang sangat mengagumkan. Dalam filosofi Jawa, Semar disebut dengan
Badranaya. Berasal dari kata
bebadra yang artinya membangun sarana dari dasar dan
naya atau
nayaka yang berarti utusan. Maksudnya mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia. Secara Javanologi, Semar berarti
haseming samar-samar. Sedangkan secara harafiah, Semar berarti sang penuntun makna kehidupan. Secara fisik, Semar tidak laki-laki dan bukan pula perempuan. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan, yang merupakan simbol dari pria dan wanita. Tangan kanan Semar ke atas, maknanya bahwa sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbol Sang Maha Tunggal. Sedang tangan kirinya ke belakang, bermakna berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik. Semar berambut
"kuncung" seperti anak-anak. Maknanya hendak mengatakan bahwa
akuning sang kuncung, yaitu sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan melayani umat tanpa pamrih untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan perintah Allah. Ketika barjalan, Semar selalu menghadap keatas. Maknanya adalah dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang ke atas atau Tuhan Yang Maha Pengasih serta Penyayang umat. Selain itu Semar juga selalu mengenakan kain jarik motif
Parangkusumorojo, yang merupakan perwujudan
Dewonggowantah atau untuk menuntun manusia agar
memayuhayuning bawono, yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi. Ciri fisik Semar yang sangat unik lainnya adalah bentuk tubuhnya yang bulat. Ini merupakan simbol dari bumi atau jagad raya, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar juga tampak selalu tersenyum, tapi matanya sembab. Ini menggambarkan simbol suka dan duka. Wajahnya tampak tua, tapi rambutnya berkuncung seperti anak kecil. Ini merupakan simbol tua dan muda. Ia merupakan penjelmaan dewa, tetapi hidup sebagai rakyat jelata. Ini merupakan simbol dari atasan dan bawahan. Bagi saya Semar mempunyai banyak keistimewaan. Selain ciri-ciri fisik, keistimewaan Semar yang lain adalah tentang statusnya. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya disejajarkan dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Menurut versi aslinya, penasehat pihak Pandawa dalam perang Baratayuda adalah Kresna. Akan tetapi dalam pewayangan, penasehat Pandawa menjadi dua yaitu Kresna dan Semar.
KEMBALI KE ARTIKEL