Ketika tragedi Cikeusik menewaskan tiga warga Ahmadiyah, saya miris, prihatin dan malu. Tidak terutama malu karena yang melakukan adalah umat Islam, yang berkopiah, bersarung, dan meneriakkan Takbir; tidak terutama malu karena citra Islam dan Indonesia turun di mata Barat; tapi lebih karena malu sama Allah, dan juga sama Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ya Allah, ya Nabi, apakah mereka itu binatang atau lebih rendah dari itu hingga halal untuk dibunuh dengan sadis? Bahkan kalaupun derajat manusia itu lebih hina dari binatang bukankah Engkau ya Allah, tidak memberikan hak pada manusia untuk memperlakukannya sebagai binatang, melainkan Engkau perintahkan untuk mengajaknya kembali naik pada derajat kemanusiaan. Saya berandai-andai, bagaimanakah kiranya, seandainya beliau Nabi hadir di tengah tragedy Cikeusik? Apakah beliau Nabi akan turut membacok, melempari batu, dan memecahkan kepala warga Ahmadiyah, ataukah beliau akan menyapa, menyalaminya dengan senyum, mengelus kepalanya dengan tulus, dan bertanya jawab dengan kebijaksanaan (
billati hiya ahsan)? Seingat saya dalam tarikh Nabi yang saya pelajari dulu, Nabi itu berwajah senyum (
bassam), selalu mengusap kepala anak yatim. Beliau penuh kasih pada anak-anak, termasuk kisah ketika cucunya main kuda-kudaaan (Hasan dan Husain) di punggung Nabi ketika sholat, maka Nabi berlama-lama sujud agar cucunya tidak jatuh. Baru setelah cucunya pergi, Nabi melanjutkan sholatnya, setelah salam beliau panggil cucunya dengan penuh kasih dan bilang, bahwa tidak mengapa bermain kuda-kudaan di punggung Nabi, tapi jangan waktu sholat, kasihan para makmum yang menunggu terlalu lama. Kisah lain adalah Nabi yang bahkan rela tidur bersandar di pintu rumahnya sendiri karena sungkan membangunkan 'Aisyah istrinya tercinta ketika Nabi pulang larut malam, padahal 'Aisyah sendiri berada di balik pintu itu sedang tertidur juga bersandar di pintu yang sama, menunggu suami terkasihnya. Kelembutan hati Nabi, cinta dan kasihnya betul-betul nyata… Nabi punya rutinitas menyuapi fakir miskin di pinggiran Madinah, fakir miskin itu seorang Yahudi, ia buta matanya, hingga tidak bisa melihat rupa Nabi ketika datang dan menyuapinya sarapan tiap pagi. Yang jelas tiap itu pula Yahudi mengomel mengenai kebenciannya pada Muhammad—dengan tanpa sadar dan tahu bahwa yang ia hadapi adalah orang yang ia omeli-bahwa jangan percaya pada Muhammad, dia penyihir jahat, jangan diikuti, pembohong dan lain sebagainya. Namun beliau Nabi tidak marah, senyumnya selalu terkembang ketika menyuapi seorang fakir Yahudi tersebut yang tiada berhenti mengomel. Bagaimana bisa marah kepada orang yang tidak tahu apa-apa, bukankah Allah dengan sifat Rahman-Nya meliputi semesta dunia ini? Begitulah akhlak Nabi. Sampai pada suatu hari Yahudi tersebut lama tidak dikunjungi oleh orang yang tiap pagi menyuapinya. Abu Bakar menggantikan rutinitas pagi hari Nabi, ia mulai melakukan rutinitas seperti yang Nabi lakukan, menyuapi Yahudi fakir tersebut. Namun ia merasakan hal yang lain, bahwa yang menyuapinya bukan orang yang biasanya, dan memang betul, setelah ia raba wajah dan kepalanya, memang bukan. Ia bertanya, “Di manakah orang yang begitu mulia hatinya yang selama ini menyuapiku tiap pagi? Sebelum menyuapiku, biasanya ia memamahkan dulu makananku, baru sesudah itu diberikannya padaku”. Abu Bakar menitikkan air matanya, teringat ia pada Rasulullah, kemudian ia berkata, “Maaf aku belum terbiasa, aku mendapatkan amanat untuk meneruskan itu, jadi mohon dimaafkan.” Yahudi itu pun kemudian bertanya, “Lalu di mana ia? Apakah ia sedang sakit?”. Abu Bakar menjawab, “Iya, aku sahabatnya, beberapa hari yang lalu beliau wafat…” “Sungguh kenapa orang-orang baik selalu pergi lebih dulu…” Ujar Yahudi itu sambil bersedih hati. Abu Bakar melanjutkan, “Dan sahabatku itu sebenarnya adalah Muhammad, orang yang kau benci selama ini…” Terkejutlah Yahudi fakir itu, dan saat itu juga dengan tersedu-sedu ia bersyahadat… (Gambar dari:
http://www.pasarkreasi.com/content/detail/photography/1095/silaturahmi) Cerita tersebut adalah cerita yang familiar diberikan di pesantren, madrasah, dan ada di dalam kitab-kitab tarikh (sejarah) Nabi. Cerita sederhana, tapi memiliki intisari hikmah dan pelajaran akhlak yang mestinya ditiru oleh umat Islam sampai sekarang dan nanti. Mengingat kembali kisah-kisah itu, rasa malu saya bertambah-tambah. Ya Allah, kami makin jauh dari akhlak Rasulullah, padahal jelas tugasnya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (
li utammima makarimal akhlaq). Betapa hinanya kami yang tidak bisa meneruskan tradisi akhlak mulia Nabiyullah Muhammad utusan-Mu, betapa bebalnya kami ya Allah,
inni kuntu minadh dholimin..!!! Cikeusik, Temanggung, bukan soal ketidaktegasan negara atau SBY dalam menangani kelompok-kelompok garis keras, ini bukan juga soal peringkat internasional Indonesia yang menurun dalam pemeringkatan perlindungan terhadap HAM dan minoritas, tapi ini adalah soal kemanusiaan! Tidak peduli ada skenario intelijen, CIA, KGB (alm.), freemasonry, illuminati, Zionis, setan, iblis, gundul pecengis, genderuwo, wewe gombel atau apapun itu, tidak bisa dijadikan pembenaran praktik bacok-membacok, bunuh-membunuh dan bakar-bakaran rumah ibadah. Ini soal kemanusiaan dan diri kita yang tidak juga kunjung dewasa, lupa teladan mulia akhlak Nabi, merasa paling benar, sejak dulu menghadapi masalah beginian kok ya nggak selesai-selesai. Tidak selesai pada level gagasan, sikap, nilai, budaya, dan akhlak. Sungguh bergetar hati ini membaca apa yang diungkapkan Gus Mus melalui syairnya berjudul "Allahu Akbar" (2005):
KEMBALI KE ARTIKEL