Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Sabana dan Pasir Berbisik, Sisi Lain Pesona Bromo

24 Juni 2013   13:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:30 1280 1

Karena sudah lebih dari seratus dua puluh kali ke Bromo, saya menolak ikut mendaki Bromo tatkala mengantar 11 teman Jakarta menengok Bromo di sela-sela acara nonton Jazz Gunung 2013. Namun demikian, ketika sopir jeep menyebutkan sabana (atau savannah, padang rumput) dan kawasan ‘pasir berbisik’, minat saya terbetot juga.

Dengan jeep bertarif Rp 450.000 untuk rute sabana, pasir berbisik dan kaki gunung Bromo, kami bersepuluh dalam dua Jeep mulai menukik turun dari gunung Cemara Lawang menuju lautan pasir Tengger, di kawasan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru seluas 5.500 km persegi itu.

Supir jeep lincah membawa jeep membelah lautan pasir di pagi mendung menuju ke sisi selatan gunung Bromo. Saya ingat, pada tahun 1981 saya pernah melintas kawasan ini dalam perjalanan kaki dengan seorang perempuan wisatawati Swiss dari Cemoro Lawang di kabupaten Probolinggo ke Tumpang di kabupaten Malang.

Dua puluh menit duduk bergoyang dalam jeep yang dihempas permukaan gelombang, akhirnya kami sampai di kawasan sabana.

So peaceful, so pretty! Hamparan rumput di dataran berbukit –bukit hijau dengan pepohonan teduh bersalut kabut sungguh merupakan santapan adem bagi mata.

Pagi itu setidaknya ada 5 jeep pengantar wisatawan yang bakal narsis berfoto di kawasan sabana. Tiba-tiba hujan turun deras. Kami berteduh di sebuah warung non-permanen kudapan makanan kecil yang beratap tenda plastik. Pisang goreng hangat, kopi panas dan mi instan jadi santapan mewah dalam hujan yang malah menyulap suasana jadi indah dan merdu. Rinai hujan yang menyapu punggung perbukitan menyuguhkan panorama mistis.

Manakala hujan reda limabelas menit kemudian, aksi sesi foto wisatawan marak lagi. Sejumlah penyedia jasa berkuda siap mengantar Anda keliling sabana dengan tarif Rp 50.000. Sabana pagi itu pastilah perfect bila tak ada dentum-dentum hebat musik dangdut dari tape player yang disetel sopir Jeep.

Selepas sabana, jeep membawa kami kembali membelah laut pasir. Kali ini tujuannya adalah sebuah spot tak jauh dari kaki gunung Bromo. Tak sampai sepuluh menit kemudian kami sudah sampai tujuan. “Ini dulu tempat shooting film Pasir Berbisik yang dibintangi Dian Sastro itu lo,” sopir jeep menjelaskan tanpa diminta. Kawasan ini seperti menjadi antiklimaks bagi kawasan sabana. Nyaris tak ada sehelai tumbuhanpun mencuat dari tanah. Sejauh mata memandang, yang tampak hanyalah sand dunes (gundukan pasir) dan dinding-dinding bukit dengan padatan pasir abu-abu pucat.

“Kalau kena angin, permukaan pasir ini menimbulkan suara berdesing nan merdu; itulah kenapa disebut ‘pasir berbisik’, jelas supir jeep kami.

Sebuah kedai kopi dan mi instan yang dikelola ibu tua yang juga berjual tangkaian bunga edelweiss menjadi pemandangan asing yang harusnya tak perlu ada.

Kebetulan, cuma dua jeep kami yang berada di kawasan pasir berbisik pagi itu. Sunyi yang cekam, jutaan butiran pasir  permukaan yang bergulung perlahan diterpa angin dan teduhnya mendung pagi membuat ‘pasir berbisik’ worth enjoying.

Setelah ‘pasir berbisik’, teman-teman saya melanjutkan perjalanan berkuda (Rp 125.000) ke kaki gunung Bromo. Saya lebih suka menantikan mereka di kawasan jeep station. Duduk di sebuah warung tenda, mengudap kopi putih dan menatap hamparan luas laut pasir Tengger, sembari sedikit menggerutu atas dentum-dentum keras musik dangdut yang disetel sopir-sopir jeep. Para sopir jeep dan penjaga warung harusnya sedkit berempati pada para pelancong yang tak saban hari bisa menikmati anugerah pemandangan dengan bisik angin dan aroma alam yang langka.

Well, kalau ke Bromo, jangan lupa agendakan perjalanan ke sabana dan kawasan pasir berbisik, dan bawalah pulang satu pengalaman, pengetahuan dan informasi bahwa negara kita punya berjuta keelokan alam.

Salam wisata!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun