Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Sang Penerjemah (22)

9 November 2012   10:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:43 272 0

Sang Penterjemah (21) bisa dibaca di sini

Kereta api sampai di Ayutthaya jam 4 lebih sedikit. Mendung mengurung kota dan banjir di jalanan menyembunyikan permukaan tanah, dan menggantikannya dengan genangan-genangan di mana-mana. Aku mencoba mengghubungi Ped lagi. HPnya masih tidak aktif.

“Barangkali kau mau mencari suamimu ke tempat kerja. It’s okay, sore ini tak usah kerja menerjemah dulu,” kata Rakandi, mendapati kegelisahan di wajahku.

“Tidak perlu. Kalau ia tidak menelepon aku, itu berarti ia sedang benar-benar sibuk,” kataku. “Jadi sore ini kau tak perlu aku?”

“Secara professional, tidak,” kata Rakandi.

“Secara profesional?”

“Ya. Museum sudah tutup, dan kau mungkin perlu pulang setelah dua hari berada di Bangkok ,” ujar Rakandi. Aku berdiri mematung di dekat pintu mobilku di parkiran stasiun kereta api Ayutthaya. Entah kenapa aku jadi bimbang. Mustinya memang aku pulang dan menunggu Ped pulang dari tempat kerja. Tapi tiba-tiba saja aku merasa tak terlalu bergairah untuk melakukan kegiatan di rumah. Dua hari jalan dengan Rakandi, terus terus saja, terasa amat menyenangkan. Entah kenapa begitu.

“Kamu sendiri mau kemana sore ini?” tanyaku.

No idea. Mungkin jalan-jalan sedikit, pijat atau cari makan,” jawab Rakandi.

“Oke, deh. Have a nice evening. Aku pulang dulu. Besok ketemu di kantorku, ya, jam 9 pagi,” aku membuka pintu mobil dan memanaskan mesin. Rakandi menunggu sampai mesin mobil cukup panas dan aku melajukan mobil ke luar stasiun. Ia melambaikan tangan.

Lagi-lagi hatiku bimbang. Hari ini rasanya terlalu cepat berlalu. Mestinya aku tadi mengajak Rakandi jalan sore itu dan menemaninya cari makan. Ingin rasanya aku mengais HP dari tas dan mengirim sms pada Rakandi. Tapi aku urungan. Jangan-jangan pemuda Jawa ini nanti jadi ke-GR-an.

Rumahku sepi sore itu. Kunci rumah kutemukan di pot yang tergantung di palang kayu. Dua edisi koran terserak di beranda. Berarti Ped sama sekali tak pulang selama dua hari ini. Aku tercenung sambil menggenggam HP tak jauh dari kulkas. Kukirimkan sms pada Ped, memberitahu aku sudah di rumah. Lama tak ada jawaban.

Aku mengguyur badan dengan air segar. Meski mendung, hawa Ayutthaya tetap panas dan gerah. Kukenakan short putih favorit Fed dan tank top biru regal hadiah dari Ped bulan lalu. Geirimis turun lagi, berbareng dengan datangnya gelap.

HPku menderingkan nada sms. Itu pasti dari Ped. Kuraih HP dan kubaca layar HP. Itu sms dari Rakandi. Aku tersenyum, entah kenapa aku jadi senang atas kehadiran sms itu.

“Mbak Apsara, lagi di rumah? Aku baru cetak foto-fotomu di kereta api. Semuanya keren. Mau lihat?” itu bunyi sms Rakandi.

Aku menimang HP, dan mulai mengetik. “Mau banget? Besok aku lihat ya?” aku menulis.

“Besok ya……ya, sudah…..”

“Kamu lagi ngapain. Jadi pijat?”

“Lagi bikin catatan di hotel. Nggak jadi pijat, nggak mood

Sekali lagi aku membaca sms Rakandi yang berbunyi, ‘besok ya….ya sudah….”.

Kalau dibaca berulang-ulang, aku bisa menangkap perasaan bahwa dia ingin menunjukkan foto-foto itu sekarang, atau mungkin, ia ingin ketemu aku sore ini. Ah, kok sama dengan perasaanku? Ingin sekali ketemu dia sore ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun