Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Sang Penterjemah (20)

10 Oktober 2012   11:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:59 386 0

SANG PENTERJEMAH (19) bisa dibaca di sini

Kota Ayutthaya, Thailand, 2011 Masehi

Aku keluar mencari makanan ketika Rakandi pergi mandi. Aku melirik layar HP, belum ada sms dari Ped. Terlalu! Pasti dia tak punya waktu untuk membalas smsku atau bahkan tak punya waktu untuk menengok HP-nya. Apakah mungkin ia terlalu sibuk dengan Akiko? Mudah-mudahan tidak. Ped bukan orang seperti itu. Aku yakin Akiko adalah rekan bisnis beneran, bukan yang lain.

Ketika aku sampai di rumah kos, Rakandi sudah berkutat dengan sekitar 100 lembar fotokopian, yang digelar di lantai kayu.

“Bahan-bahan ini, apakah tertulis dalam aksara seperti Thai yang dipakai saat ini?” tanya Rakandi.

“Benar! Dan itulah hebatnya aksara dan bahasa Thai. Aksara Thai mulai dipakai sejak jaman Raja Ramathibodhi I, dan dititahkan oleh raja untuk dipakai sebagai bahasa kerajaan Ayutthaya. Kalau di kerajaan Majapahit bagaimana?” tanyaku.

“Jawi kuno, dan sebagian naskah kuno ditulis dalam bahasa Sansekerta. Sayangnya Indonesia tidak pakai aksara Jawi kuno. Kami pakai aksara latin,” kata Rakandi. “Bisakah kau mulai membaca naskah-naskah ini? Sambil makan?”

“Okay, pada dasarnya naskah-naskah ini menceritakan tentang awal berdirinya kerajaan Ayutthaya sampai keruntuhannya. Di awal-awal berdirinya, pusat kerajaan dikelilingi tembok. Hebatnya, Raja Ramathibodhi adalah raja yang menyambut semua orang yang berasal dari luar Ayutthaya. Di bagian luar tembok, menurut naskah-naskah ini, ada pemukiman orang-orang Cina, orang-orang Khmer, orang-dan orang-orang Melayu Islam,” aku duduk di lantai tak jauh dari hadapan Rakandi.

Rakandi memperhatikan dan membuat catatan. Tapi menurutku, ia lebih banyak menatapku daripada menatap catatannya. Aku bergeser, duduk sejajar dengannya, agak jauh, bersandar pada sofa, agar ia tak leluasa menatapku.

“Naskah ini bercerita banyak tentang perkembangan Ayutthaya setelah wafatnya Raja Ramathibodhi pada tahun 1369. Antara lain kisah-kisah perjuangan Raja Naresuan mengusir penjajahan bangsa Bama di tahun 1400-an,” jelasku.

“Adakah nama Pibulwongsawat disebut-sebut?” tanya Rakandi.

“Tidak ada. Catatan hanya menyebutkan bahwa pada masa Ramathibodhi, penjagaan keamanan Ayutthaya di sebelah selatan diserahkan kepada kepala keamananan kerajaan, seorang abdi kerajaan yang hebat dan mengabdi tanpa syarat……”

“Itu dia Pibulwongsawat,” sergah Rakandi.

“Sebentar, ini ada catatan menarik : Raja Ramathibodhi menerima kedatangan perahu-perahu kerajaan Majapahit utusan Gajah Mada pada tahun 1911”

“Nah, itu menarik! Tapi, tunggu dulu! Tahun 1911? Mana mungkin?” sela Rakandi.

“Sebentar,” aku meraih kalkulator dari tas dan menghitung. “Mungkin saja. Naskah ini ditulis dengan menggunakan tahun BE, Buddhist Era. Tahun 0 Masehi sama dengan tahun 543 BE. Jadi, 1911 dikurangi dikurangi 543 adalah 1368! Itu tahun saat Rakandi berada di Ayutthaya!”

Rakandi beringsut mendekat, seolah ingin tahu sendiri kata-kata yang ada pada fotokopian. Aku memberi isyarat agar Rakandi tak duduk terlalu dekat denganku.

“Kamu dengar saja, tak perlu mendekat. Kau toh tak bisa membaca ini,” kataku.

“Oh ya, sorry! Well, armada Majapahit berada di Ayutthaya pada tahun 1368. Jadi, ada kemungkinan Rakandi kembali ke Majapahit dengan armada ini?” kata Rakandi.

“Bisa jadi. Nah, dengar ini : Mula-mula kedatangan armada ini dicurigai sebagai pasukan Gajah Mada yang hendak menggertak Raja Ramathibodhi agar tunduk pada Majapahit. Tapi ternyata pasukan itu membawa pesan damai, seperti terlihat dalam jumlah armadanya yang tak cukup besar untuk melakukan invasi”

“Apakah dikisahkan di dalam catatan itu bagaimana proses kedatangan armada itu?”

“Sebentar….,” aku menelurusi catatan dengan cepat dengan telunjukku. “Yep, ini dia. Anggota pasukan kepala keamanan yang sedang berpatroli mendapati mereka di sungai Chao Phraya mengarah ke dermaga Ayutthaya. Pasukan patroli ini yang melapor langsung pada raja Ramathibodi,”

“Langsung pada raja Ramathibodhi. Terus, kepala keamanan berada di mana saat itu?” tanya Rakandi. Aku membolak-balik catatan mencari kelanjutannya. Aku baru tahu ada halaman yang hilang.

“Ada dua halaman yang hilang. Padahal semua catatan ini sudah kukopi selengkapnya dari koleksi catatan Pi Shrida. Pantas Tidawan tadi bilang catatan ini kurang lengkap….”

“Dan selengkapnya ada di museum yang besok akan kita kunjungi itu?”

Exactly!” kataku, mulai menguap.

Aku terus menerjemahkan bagian-bagian lain catatan itu meski kebanyakan adalah catatan kejadian-kejadian di atas tahun 1400. Rakandipun tetap bersemangat mendengarkan, sampai tak terasa jam telah merangkak ke pukul 2 dini hari.

“Sorry, aku mengantuk dan perlu istirahat. Kau pasti juga perlu istirahat. Aku tidur dulu, ya,” kataku, beranjak ke kamar.

“Okay, sugeng sare …..ratri sawad!” kata Rakandi, mengucapkan selamat malam dalam bahasa Jawa dan Thai.

Aku merebahkan diri di kasur dan menatap HP. Ada sms dari Ped. “Kamu menginap di Bangkok? Ya, sudah, nggak apa-apa. Aku sendiri nggak bisa pulang. Air banjir mulai menggenangi gudang spare-parts bagian listrik. Aku sedang sibuk memindahkan spare-part ke tempat lebih tinggi”. Aku memencet nomor telepon Ped, pingin bicara. Tapi telepon tak diangkat. Syukurlah kalau ia sibuk dengan pekerjaannya.

Aku bermaksud menulis sms buat Ped. Tapi mataku terasa berat. Aku mencoba membuka mata dan tiba-tiba aku berada di sebuah hamparan rerumputan dengan angin mendesir dari bidang terbuka yang mengirimkan pemandangan sungai Chao Phraya. Angin itu membeli pundakku telanjangku. Hm, rupanya aku berbusana gaya bangsawan kerajaan Ayutthaya, dengan pundak telanjang, kain membelit dada dan kain bawah panjang bermotif bunga-bunga dengan warna dasar coklat keemasan. Aku tengah berjalan ke arah Rakandi yang menunggu di kejauhan. Tiba-tiba kakiku terantuk batu. Tubuhku oleng, dan ambruk ke tanah. Ketika aku hendak bangkit, seekor ular siap menyerangku. Aku terkesiap. Darahku seperti berhenti mengalir. Tak akan ada kesempatan untuk menghindar dari patukan ular ini. Aku ingin beteriak, tapi tak ada suara yang bisa kukeluarkan dari mulutku. Tapi aku terus mencoba berteriak dengan nafas tersengal sampai kemudian kulihat Rakandi telah berdiri samping tempat tidurku.

“Apsara! Ada apa?” ragu-ragu Rakandi duduk di tempat tidur. Nafasku masih tersengal-sengal.

“Aku…..mimpi hendak dipatuk ngu gap nga, ular paling berbisa dan mematikan di jagat Thailand,” kataku.

“Yang benar? Apakah dalam mimpimu, kau tengah berjalan di tepian sungai, di jaman kerajaan Ayutthaya?” tanya Rakandi.

“Benar! Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku bermimpi hal yang sama. Aku, Rakandi sedang berjalan tak jauh Apsara ketika Apsara tersandung. Tubuh Apsara mungkin menimpa bagian tubuh ular itu, ular warna kuning, mungkin merasa terganggu. Aku hendak menolongu dalam mimpi itu ketika aku terbangun mendengar teriakanmu dari dalam kamar,” jelas Rakandi.

Bulu kudukku meremang. Ular adalah binatang yang paling aku takuti, apalgi ngu gap nga. Dan yang paling membuatku mulai terbalut misteri adalah fakta aneh bahwa aku dan Rakandi bermimpi hal yang sama pada saat yang sama pula!

“Katakan padaku, apakah ini terjadi pada Apsara waktu itu?” tanyaku.

“Entahlah, Apsara…tapi aku mulai merasakan banyak kebetulan-kebetulan yang aneh pada diri kita,” ujar Rakandi. Aku tak menyahutinya. Penampakan ngu gap nga dalam mimpi itu masih mengangguku.

“Aku mau tidur di luar kamar. Takut ada ular beneran,” kataku turun dari tempat tidur. “Aku tidur di sofa, kamu tidur di lantai ya!”

(BERSAMBUNG)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun