Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Sang Penterjemah (19)

10 Oktober 2012   11:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:59 514 1

Sang Penterjemah (18) bisa dibaca di sini

Kota Ayutthaya, Thailand, 2011 Masehi

Aku duduk di samping Rakandi dalam perjalanan bis dari Ayutthaya menuju Bangkok. Hujan masih terus turun dan di sepanjang perjalanan, genangan air seperti tak pernah putus. Aku baru saja mengirim sms pada Ped, memberitaha aku harus ke Bangkok dengan klienku untuk mengambil catatan hasil fotokopian. Aku menunggu Ped membalas smsku. Tak juga kunjung ada balasan.

Bosan menunggu sms Ped, aku minta Rakandi menceritakan tentang Indonesia dan kota kelahirannya, Mojokerto.

“Suatu hari kamu harus ke Indonesia. Negeri asyik,” kata Rakandi.

“Menarik juga. Aku belum pernah ke luar negeri terlalu jauh, cuma ke Laos dan Kamboja. Apakah Apsara di tahun 1368 juga sempat ke tanah Jawa?” aku ingin tahu.

“Itu yang aku tidak tahu. By the way, kamu bica bicara bahasa apa saja selain bahasa Inggris?” tanya Rakandi.

“Bahasa Cina dan Khmer”

“Khmer itu bahasa di Kamboja, kan?”

“Benar!”

“Bedanya dengan Apsara di tahun 1368. Menurut manuskrip itu, Apsara bisa bahasa Jawa selain Cina dan Khmer. Itulah sebabnya ia menjadi penerjemah bagi Rakandi di masa itu”

“Sesulit apa bahasa Jawa?”

“Tidak sulit. Semua orang Indonesia bicara dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa daerahku Jawa,” jelas Rakandi.

“Ajari aku beberapa patah kata bahasa Jawa,” pintaku.

“Hm….oke….what’s your name ….sopo jenengmu…”

So…po…junung…mu?” aku mengulang.

“Bukan ‘junungmu’, ‘jenengmu’!” ralat Rakandi.

“Oke, sopo jenengmu?”

Jenengku Rakandi. Sopo jenengmu?”

Jenengku Apsara!”

“Apsara….kon ayu tenan!” kata Rakandi.

“Apa itu?”

“Rahasia!”

“Uii, pakai rahasia segala. Katakan, apa itu?” aku mendesak.

“Nggak boleh tahu!”

“Ayolah! Kasih tahu!”

“Tidak akan!”

“Itu bukan mengolok-olok aku, kan?”

“Apa aku pernah plok-olok kamu mulai pertama kali ketemu kemarin?”

“Nggak!”

“Ya, sudah….”

Aku pura-pura merengut dan menatap ke luar jendela. Rakandi menyibukkan diri dengan tab-nya. Sejenak kemudian aku menolehnya. Rakandi tersenyum menggoda.

“Masih penasaran?” tanya Rakandi.

“Ya!”

“Oke, kon ayu tenan…. ‘kon’ itu seperti bahasa Thai ‘khun’. Kon ayu tenan adalah khun suay mak. You are very beautiful”

Aku merebahkan punggungku di sandaran.

“Kamu mulai membosankan, tahu nggak? Aku nggak suka dipuji,” kataku pelan.

“Eh, jangan marah! Kan kamu yang ngotot minta dikasih tahu terjemahannya?” kata Rakandi, tertawa lebar. Nyebelin!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun