Suatu kawasan wisata yang kebanjiran wisatawan tak pelak lagi bakal terpapar masalah-masalah sampah sisa-sisa kegiatan wisata. Penumpukan sampah di kawasan pariwisata kebanyakan bersumber dari sampah dapur hotel dan restoran, sampah bekas kemasan makanan dan barang, dan sampah domestik lain yang tersumbang dari peningkatan jumlah tenaga kerja di bidang pariwisata.
Sampah yang tidak dikelola dengan baik, seperti yang marak terjadi di berbagai kawasan wisata, bakal bikin runyam karena sang sampah berbalik menjadi ancaman serius dari segi estetika, kesehatan manusia dan keutuhan asset alam.
Di negeri yang kita sayangi ini, urusan kebersihan terkait sampah adalah perkara yang complicated, yang bermuasal dari persepsi masyarakat terhadap nilai kebersihan. Maksud saya, gampangnya, masyarakat Indonesia itu kurang ‘bersihan’, tak tak terlalu merasa terganggu dengan kehadiran sampah di sekeliling mereka. Ini yang membuat budaya buang sampah sembarangan tetap merebak dan turun temurun dari generasi ke generasi. Semua tempat bisa menjadi bak sampah. Sehabis membuka bungkus makanan, bungkus makanan cukup dilempar setempat, tak perduli ada tulisan DILARANG BUANG SAMPAH SEMBARANGAN, tak hirau juga kalau di dekat situ ada bak sampah.
Budaya ini tercermin pula pada kawasan-kawasan wisata. Sehabis makan nasi bungkus di pantai, misalnya, bungkus plus sisa-sisa makanan yang bakal berbau busuk, cukup dihempaskan di sekeliling mereka. Kalau Anda sempat ke kawasan wisata Gunung Bromo, contohnya, Anda bisa saksikan sampah plastik kemasan minuman, bungkus rokok, bungkus mi instan dan semacamnya bertebaran di seantero sudut, termasuk di hamparan padang pasir.
Kehadiran sampah di kawasan wisata sudah pasti bukan pemandangan yang nyaman di mata. Teman saya, Trinidad Rico, asal Argentina yang saya ajak berwisata ke Bromo tercengang-cengang menatap sejumlah wisatawan muda Indonesia enak saja melempar bungkus biskuit dan kulit kacang ke bibir kawah. Saya tak heran bila si Trini heran. Di Amerika, tempat ia dibesarkan dan mendulang ilmu, ia biasa mengantongi sampah permen karet di sakunya bila ia tak melihat ada tempat sampah di sekitarnya. karena ia tak mau jadi bagian dari penyumbang sampah, sekecil apapun sampah itu. “Sayang ya, keindahan dan kedahsyatan alam yang mestinya jadi aset dan dayatarik wisata jadi terganggu karena kehadiran sampah,” sembari memasukkan bekas bungkus coklat ke dalam tas plastik yang ia siapkan di tas punggungnya. Di dalam tas plastik itu, sudah ada beberapa jenis sampah yang Trini tak mau buang di sembarang tempat, termasuk karet sisa permen karet yang dikunyah sepanjang hiking dini hari di gunung Bromo itu.
Bicara soal upaya sampah di kawasan wisata di Indonesia, kita mungkin akan sampai kepada berbagai akar persoalan. Akar masalah pertama, seperti yang kita prediksikan, berasal rendahnya apresiasi kebersihan masyarakat. Akar masalah kedua adalah absennya upaya serius pemerintah dalam pengendalian sampah. Dua sumber masalah ini benar-benar saling menunjang, saling menyumbang.
Berkaca dari pengalaman Thailand (sengaja saya angkat Thailand karena ada kemiripan latar belakang masalah sampah ini), negara kita mungkin bisa mulai menempuh upaya perubahan yang lebih komprehensif. Pariwisata Thailand mulai menggeliat pada tahun 1999, dengan 8,5 juta kunjungan wisatawan asing. Angka ini terus meroket dari tahun ke tahun. Peningkatan angka kunjungan ini mereka pandang sebagai angin segar untuk mencapai tingkat sustainable tourism (pariwisata yang berkesinambungan), yang salah satunya mereka tempuh melalui pemeliharaan kebersihan lingkungan loka-loka wisata dan menempelkan konsep ecotourism (ekoturisme) dalam pengembangan pariwisata mereka. Ekoturisme diterjemahkan sebagai kegiatan pariwisata dalam lingkungan alam di mana sumber-sumberdaya pariwisata dipelihara dengan baik sehingga wisatawan bisa menikmati dan mengambil manfaat pembelajaran dari alam, dan masyarakat sekitar mendukungnya dengan manajemen pariwisata, misalnya dengan cara berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai usaha wisata atau dengan menyediakan layanan-layanan terkait yang menghasilkan pendapatan proporsianal dari usaha yang mereka geluti.
Selebihnya, konsep ekoturisme juga mensyaratkan sepuluh hal, yakni (1) menjaga agar sumberdaya alam tidak terusik, (2) menyelaraskan aktivitas wisata dengan karakteristik lingkungan, (3) meningkatkan kesadaran pemeliharaan ekosistem di atas kepentingan bisnis, (4) melibatkan masyarakat sekitar, (5) memberi kesempatan organisasi lokal untuk memromosikan wisata, (6) menanamkan konsep ekoturisme di tingkat daerah, provinsi dan nasional, (7) melaksanakan riset pengembangan kawasan wisata, (8) menjalankan penegakan hukum terkait dan mendisiplinkan wisatawan dalam hal kebersihan lingkungan, (9) menciptakan tata-tertib pengembangan ekoturisme, dan (10) mengembangkan jaringan komunikasi ekoturisme di semua level.
Barangkali berangkat dari konsep inilah, Thailand maju beberapa langkah daripada negara kita di bidang kebersihan lingkungan wisata. Konsep ini telah membuat pihak-pihak berwenang di semua level dan masyarakat jadi memiliki acuan yang sama tentang kesinambungan pariwisata. Secara nasional, untuk urusan waste management (pengelolaan sampah), pada tahun 1990 Thailand mendirikan lembaga Waste Management Siam (WMS) yang bertanggungjawab atas pengelolaan lingkungan melalui pekerjaan pengelolaan, penanganan, dan pembuangan sampah di seluruh Thailand. Waste Management Siam dioperasikan oleh DOWA Eco-System Co. Ltd, yang merupakan anak perusahaan DOWA Holdings Co., Ltd. Jepang. Induk perusahaan ini juga memberikan jasa serupa di beberapa Negara Asia Tenggara lainnya.
Kesungguhan semangat mengurusi sampah ini menjalar ke seluruh negeri melalui provinsi dan pemerintah kota. Lihatlah contoh sederhana di Sunday Walking Street Market di Chiang Mai, Thailand utara. Pasar wisatawan lengkap dengan pedagang makanan, yang buka antara jam 5 sore sampai jam 2 dini hari ini rata-rata dikunjungi 6.000 wisatawan lokal dan mancanegara, yang berpotensi mendulang sampah. Agar sampah tak berserakan, para pedagang harus menyediakan tas plastik tempat sampah, dan untuk kebersihan lingkungan, dikerahkanlah anak-anak muda yang bekerja sukarela mengumpulkan sampah yang tercecer di sepanjang jalan.
Rendahnya kesadaran masyarakat akan kebersihan juga dibarengi dengan upaya pemerintah Thailand untuk memompa semangat rakyat. Ambil contoh ketika sampah menggunung dimana-mana seusai banjir hebat November 2011 silam. Untuk menggerakkan masyarakat, pemerintah menawarkan insentif sederhana ; anggota masyarakat yang mengumpulkan dan menyerahkan 20 kotak styrofoam akan dapat sebutir telur, dan 2 kilo beras untuk 20 botol plastik. Dengan cara ini, sampah yang mengganggu kenyamanan wisata di negeri yang punya angka kunjungan wisata rata-rata 12 juta per tahun itu, tak perlu berlama-lama jadi pemandangan tak elok. Tumpukan dan serakan sampah segera lenyap dari permukaan semua kawasan. Dan para wisatawan tak perlu kuatir penyakit yang timbul dari sampah dan tak terganggu pemandangan kumuh sampah.
Indonesia mungkin perlu meniru jejak Thailand, terutama dalam segi kesungguhan. Dana yang dikeluarkan untuk promosi wisata harus imbang dengan dana yang dikucurkan untuk memelihara lingkungan. Kalau perlu, Indonesia juga mulai serius banget menerapkan sertifikasi tourism ecolabel untuk berbagai entitas penyelenggara pariwisata untuk melindungi natural capital yang salah satu strateginya adalah penciptaan kawasan wisata dengan lingkungan sehat dan bersih, yang merupakan dayatarik utama dari suatu loka wisata. Pendidikan masyarakat mengenai perlunya kebersihan bisa juga diawali dari kebersihan loka wisata.
Ecolabel adalah bagian dari program United Nations Environment Program (Program Lingkungan PBB) yang bertujuan untuk menekan dampak negatif lingkungan wisata, mendidik wisatawan tentang dampak perilaku dan aktivitas wisata, dan pengembangan standar-standar produk dan layanan wisata.
Agaknya negara kita sudah harus mulai bersungguh-sungguh mengadopsi semangat ekoturisme dan ekolabel. Ayo, kita bisa!
Sumber :