EPISODE 11 bisa diklik DI SINI
Kuturuti permintaan Eleni. Ia memejamkan mata menerima kecupan itu. Sejenak kemudian ia mulai membacakan isi surat itu.
Tiba-tiba debar aneh menggerayangi dadaku.
“Dengar baik-baik,” kata Eleni dalam bahasa Indonesia. “Dengan ini, dokter Lefteris Giorgiou, dokter pada Klinik Keffalinias di Athena, menyatakan bahwa berdasarkan pemeriksaan, nyonya Eleni Dimitriakis, 26 tahun, dinyatakan hamil,” bahasa Indonesia Eleni, dengan aksen bule, jelas sekali terdengar.
Darahku berhenti mengalir.
“Hamil?”
“Ya, hamil! Aku akan punya anak. Jadi ibu! Aku perempuan hebat!” Eleni merentang kedua lengan menantikan pelukanku. Aku ragu sesaat.
“Peluk aku Rodi. Kamu ayah bayi ini!” pekik Eleni.
Eleni memutar meja dan memberikan pelukan di pundak. Aku membalik tubuh dan membalas pelukannya.
“Aku ayah bayi ini?” tanyaku dalam pelukan Eleni.
“Seratus persen. Alexandrous tidak mungkin memberiku bayi. Ia tidak bisa. Empat tahun kami mencoba. Dokter menyatakan Alexandrous tidak bisa punya keturunan. Ia mandul,” tentu saja kali ini ia katakan semua ini dalam bahasa Inggris.
Aku memejamkan mata dan memeluk Eleni erat-erat. Kini aku tahu, aku datang jauh jauh dari Surabaya ke Skiathos untuk mendapatkan kabar ini.
“Katakan kau bahagia, senang, gembira!” desis Eleni.
“Senang sekali!” kalimatku mengambang.
“Nada suaramu tidak seperti orang yang bahagia,” Eleni melepaskan pelukan dan menatap mataku.
“Alexandrous tahu ini?” tanyaku.
“Sudah kukabari! Ia akan segera menyusul kemari!” jawab Eleni.
Alexandrous tahu! Ia akan menyusul kemari! Aku mengulang kata-kata Eleni dalam hati. Kamu dalam masalah besar, Rodi, kataku dalam hati. Tak bisa kukatakan pada kalian, sobat, bagaimana perasaanku saat itu. Wajah Trista dan Reina, terutama Reina, mengisi seluruh ruas kegundahanku. Tak bisa pula kubayangkan bagaimana aku bertemu Alexandrous nanti.
Eleni tahu suasana hatiku sedang berantakan. Ia membiarkan aku melepas pelukan dan berjalan perlahan ke hamparan rumput taman di depan rumah dan duduk di gundukan bebatuan, menatap kerlap-kerlip lampu di pinggiran pantai Skiathos di kejauhan.
Sejenak kemudian Eleni menyusul dan duduk di sampingku, menyandarkan kepala di pundakku.
“Katakan padaku, Eleni. Siapa kita ini?” aku bicara lirih.
“Kita adalah sepasang anak manusia yang sedang berada dalam pusaran takdir; aku percaya takdir. Adalah takdir pula bahwa Alexandrous jatuh cinta pada Trista; dan takdir pula yang mengantarkan kau jadi guru bahasa Indonesia bagi aku dan Alexandrous. Takdir pula yang menyemayamkan makhluk mungil dalam perutku ini,” ujar Eleni.
“Sungguh-sungguhkah kau ingin mendapatkan bayi ini?”
“Lebih dari yang orang duga! Aku mendambakan buah hati. Alex berkali-kali menggagas kami adopsi anak begitu tahu ia tak bisa memberiku kebahagiaan ini. Hanya saja, aku tahan dulu ide itu untuk menunggu keajaiban!”
“Tapi anak adopsi berbeda dengan anak yang kau peroleh dengan hubungan badan dengan lelaki lain,” kataku.
Eleni melingkarkan lengan ke bahuku.
“Keajaiban itu datang dalam bentuk lain. Takdir, Rodi. Ini takdir! Tak pernah kubayangkan aku akan sangat menginginkanmu di kamar apartemen di Surabaya itu. Nyatanya perasaan itu tak terelakkan. Takdir! Kau telah memberiku sayap untuk terbang”
Aku menghela nafas panjang dan mulai membayangkan tak pernah terima tawaran dari Hendra untuk menggantikannya mengajar bahasa Indonesia pasangan Yunani itu kapan hari. Andai saja aku tak tergiur imbalan mengajar yang jauh lebih besar daripada biasanya itu.
***
Pukul 8 pagi. Aku dan Eleni baru terbangun ketika sebuah mobil berhenti di pelataran rumah. Alexandrous turun dari mobil. Tepat seperti yang dikatakan Eleni bahwa Alex akan menyusul.
Aku tak bisa bicara, bahkan untuk menyapanya sekalipun. Alexandrous menatapku dengan kilat mata setajam pisau.
“Eleni! Aku harus bicara padamu!” kata Alexandrous dalam bahasa Yunani.
“Speak English, Alex!” tutur Eleni. Aku tahu itu dimaksudkan agar aku bisa turut mendengarkan percakapan.
“Okay, I need to talk to you only,” ulang Alexandrous.
“Sorry, Alex. Rodi ada di sini. Kalau bicaramu menyangkut hubungan kita bertiga, Rodi harus tahu,” jelas Eleni.
“It’s okay, Eleni. Kalian suami istri. Aku akan menyingkir sejenak. Hai, Alex,” aku menyapa basa-basi, “kalian bicaralah,” aku melangkah dari beranda dan berjalan menjauh, menyusuri rerindangan pepohonan di sekitar rumah. Aku menoleh sebentar. Alexandrous dan Eleni terlibat dalam pembicaraan yang kelihatannya sengat serius di beranda.
Lama aku berdiri menyandarkan tubuh pada sebuah pohon dan mulai memikirkan Reina dan Trista. Bagaimana mereka akan menerimaku kembali? Ingin sekali kupeluk Reina, gadis kecilku, dan mengajari bagaimana cara mengampuni ayah yang brengsek ini.
Lebih dari satu jam aku berjalan tak tentu arah di sekitar perkampungan itu sampai aku tak sadar aku telah berputar kembali ke belakang rumah. Tak sengaja kulihat Alexandrous dan Eleni berpelukan dari kejauhan. Aku tak segera melangkah. Tapi Alexandrous tahu kehadiranku. Ia melepaskan pelukan Eleni dan berjalan ke arahku.
“Rodi, sekarang kita perlu bicara bertiga,” kata Alexandrous. Nada bicaranya lebih santai dan ramah. Kami duduk di beranda, bermandi sinar matahati.
“Senang tinggal di Yunani?” Alexandrous tak kalah berbasa-basi.
“Ya. Terimakasih sudah membuatku bisa ke sini,” kataku.
“Okay, aku akan bicara langsung,” kata Alexandrous. “Aku lelaki jahat, culas dan mau menang sendiri. Aku menggoda istrimu selagi aku tahu ia bersuami. Aku memanfaatkan kelemahan dan kekuranganmu di mata Trista. Dan itu jahat. Dan seperti yang kau tahu, aku masih menemui Trista walau Trista sebelumnya sudah janji padamu untuk tidak menemuiku. Itupun aku yang minta,” Alexandrous berhenti bicara.
Eleni menyeka hidungnya yang berair dan mata agak sembab.
“Aku tahu Eleni hamil, dan kau …..ayah bayi itu…..” Alexandrous mulai terbata-bata, “….dan Eleni bilang hubungan badan itu berlangsung karena ia menyukaimu, mencintaimu!”
Aku memandang Eleni. Kali ini sang elang betina tertunduk.
“Kamu harus tahu, Aku dan Trista telah membuat keputusan untuk saling tidak bertemu lagi. Dan itu pilihan Trista. Ia sangat berhasrat kau kembali padanya, demi Reina,” kata Alexandrous. Bicaranya mulai tenang dan tegas lagi.
“Bayi di kandungan Eleni harusnya menjadi masalah besar bagiku, bagi nama baikku di kalangan keluarga besarku. Ini masalah yang luar biasa. Tapi itu adalah harga yang harus kutebus karena telah menjadi lelaki jahat,” Alexandrous menghela nafas. Aku menyimak.
“Kau ayah biologis bayi itu. Tapi aku bisa menjadi ayah legal bagi bayi itu karena ia bersemayam dalam rahim istriku. Aku sebenarnya ingin mendapatkan Eleni kembali dan makhluk mungin di perutnya, tapi aku tak bisa memaksa istriku kembali kepadaku, tak bisa meraih kembali hatinya. Kini semua kuserahkan kepada kau dan Eleni,” Alexandrous menepuk pundakku, dan bicara dalam bahasa Indonesia, “Tinggalah di sini bersama Eleni sampai waktunya kau kembali ke Surabaya. Aku akan datang lagi sehari sebelum kau kembali ke negerimu,” kata Alexandrous.
Dan Alexandrous mundur beberapa tapak, lalu berbalik ke mobilnya. Eleni menatap Alexandrous tak berkedip sampai bayangan mobil menghilang di balik tikungan. Aku dan Eleni berdiri mematung beberapa saat. Akankah Eleni segera menetapkan keputusannya?
***
Ternyata Eleni lebih suka tak membicarakan apapun soal keputusannya, sementara aku sendiri tak pernah bisa menjelaskan pada diriku sendiri apa yang terbaik buatku dan apa yang aku harapkan dari Eleni.
Aku dan Eleni menghabiskan sisa waktu di Skiathos dan pulau-pulau di sekelilingnya seperti sepasang turis beda negara. Eleni memasak, menyiapkan makanan, minta digumuli seperti biasa dan minta diantar periksa ke dokter kandungan. Dan ini malah membuat aku makin galau. Canda tawa Reina sering mengusik tidurku. Aku rindu lukisan Donald Duck versi Reina yang ditoreh dengan pensil warna, kangen mengajaknya jalan ke mall, dan melihatnya terlelap sebelum aku tuntas membaca buku cerita. Kerap kali Eleni mendapatiku membuka layar HP memandanngi foto Reina berlama-lama.
Dan Eleni seperti paham kegundahanku. Sore itu, di rumah Eleni, ia menyodorkan pesawat telepon padaku.
“Kamu perlu menelepon Reina!” kata Eleni; bukan pertanyaan, melainkan himbauan.
“Thanks,” kataku. Aku segera memutar telepon rumah. Tante Fitri yang terima.
“Tante, ini Rodi. Dari Yunani. Reina ada?” kataku.
Kudengar Tante Fitri memanggil Reina. Minggu pagi di Indonesia, Reina pasti ada di rumah.
“Bapak! Bapak di mana?” teriak Reina.
“Di Yunani, sayang”
“Yunani itu di mana, dekat rumah kakek di Malang?”
“Bukan, Reina. Yunani jauh, jauh sekali”
“Kapan bapak pulang?”
“Bapak segera pulang. Bapak kangen kamu!”
“Bapak pulangnya bawa mainan, ya?”
“Ya, Reina. Bapak akan belikan kamu banyak mainan”
“Bapak hati-hati ya!”
“Ya, sayang. Bapak akan hati-hati. Terimakasih kamu sudah mengingatkan”
“Hihihihi!”
Aku menutup telepon. Kulihat Eleni berdiri di sudut ruangan dengan mata berkaca-kaca. Aku yakin ia mendengar percakapan singkat dengan putriku. Eleni kemudian menghampiri aku, dan memelukku.
“Tahu tidak? Kau telah jadi guru bahasa Indonesia yang mantap. Aku bisa faham semua kata-kata bahasa Indonesiamu dengan anakmu. Aku bisa paham pula anakmu bicara apa. Maafkan aku, Rodi. Maafkan aku dan Alexandrous telah menghadirkan kekacauan ini buat kalian,” Eleni meneteskan airmata.
“Eleni….” kataku. Eleni menempelkan telunjuknya di bibirku, agar aku tak meneruskan bicara.
“Kau mau tahu jawabanku ketika aku ditanya Alexandrous apakah aku mencintaimu?” tanya Eleni. Aku tak menjawab.
“Aku mencintaimu, dan beberapa saat lalu sangat menginginkanmu dan ingin memilikimu, ingin kau mendampingi aku seumur hidup”
Aku hanya bisa memejamkan mata mendengar tuturan Eleni. Harus kuakui, akupun mencintai perempuan ini dan tak terbayangkan betapa inginku berada di dekatnya setiap menit. Tapi itu tak bisa kukatakan padanya saat ini.
“Alexandrous telah memberi pilihan itu bagiku. Ia telah menunjukkan jiwa besar. Ia akan melepasku padamu jika aku menghendakinya, dan ia akan menunjukkan tanggungjawab moralnya dengan menikahi Trista bila kau menceraikannya, dan ia siap jadi ayah bagi Reina,” Eleni terhisak kecil.
“Apakah ini juga pilihan bagiku?” tanyaku. Eleni diam sesaat dan menatap mataku dalam-dalam.
“Sebelum aku mendengar percakapanmu di telepon dengan Reina, aku ingin menyerahkan pilihan itu padamu dan aku akan dengan senang hati mengikuti pilihanmu. Tapi setelah mendengar percakapan itu, sebaiknya akulah yang menentukan pilihan itu”
“Katakan pilihanmu, Eleni. Aku akan mengikuti pilihanmu!” ujarku.
“Aku akan membesarkan bayi ini dan menjadikannya anak sah Alexandrous. Kami merawat bayi ini sekuat dan sehabat yang kami bisa,”
“Membesarkan dan merawat? Semudah itukah? Bagaimana dengan kasih sayang? Terutama kasih sayang Alexandrous pada bayi itu?”
Eleni tersenyum. “Perasaan berdosa Alexandrous karena telah mulai menyulut bara api, menyakiti hatiku dan mengoyak perkawinan kami, ditambah dengan hancurnya ketentraman keluarga kecilmu, akan mengubah hatinya menjadi hati ayah sebenarnya buat bayi yang dikandung istrinya,” kata Eleni. “Ini takdir yang harus diterima, Rodi”
Aku menatap mata Eleni dalam-dalam. Lautan Aegean di depan sana mungkin dalam. Tapi tatapan dan samudra biru di mata Eleni tak bisa kuukur dalamnya.
***
Alexandrous membantu mengurus proses check-in tiket di konter Olympic Airlines untuk perjalananku kembali dari Athena ke Singapura lewat Istanbul. Dua jam lagi aku akan mengarungi penerbangan 14 jam kembali ke Singapura dan plus dua jam lagi ke Surabaya.
“Sebelum kami kembali ke Surabaya, aku harus sampaikan hal penting, Rodi,” kata Alex dengan senyum sangat tenang.
“Pertama, aku senang aku akan menjadi ayah. Kedua, aku minta pindah dari Surabaya dan kini mendapat penugasan baru di Istanbul, Turki. Eleni akan bersamaku di mana pun aku berada. Ketiga, kau tetap ayah biologis bayi itu dan kau boleh berkunjung ke Istanbul. Turki adalah negara bebas visa bagi Indonesia, dan itulah sebabnya kau bisa berkunjung kapan saja ke Istanbul untuk menengok kami; aku dan Eleni, selama ia hamil. Oh ya, tak usah pikirkan biaya, kami yang tanggung.Keempat, kau wajib hadir saat kelahiran bayi itu dan membiarkan aku yang menunggui persalinan dan yang pertama menimang bayi itu sebagai ayahnya saat ia dilahirkan. Kelima, kau harus mengijinkan aku sebagai ayah sah untuk memberinya nama Yunani dan nama belakang Dimitriakis, nama keluargaku. Dan keenam,” Alexandrous menyungging senyum kemenangan di bibirnya, ”aku akan memberi kau waktu untuk berbicara dengan Eleni tanpa kehadiranku untuk terakhir kalinya. Manfaatkan momen-momen ini dengan baik,” kata Alexandrous, langsung melenggang menuju kedai kopi di satu sudut bandara.
Kini aku dan Eleni berdiri saling mematung, saling menatap, dalam desir sejuk musim semi. Eleni kemudian mendekat sambil mengangsurkan sebuah tas plastik dengan isi yang baru dibeli di sebuah toko mainan anak.
“Buat Reina,” kata Eleni. Aku menerimanya dengan ucapan terimakasih kecil.
“Well, Rodi. Akhir yang baik, bukan?” tanya Eleni.
“Kupikir juga begitu,” jawabku.
“Okay, tak akan banyak yang kita omongkan, kan? Aku cuma perlu katakan betapa hebatnya dan indahnya saat-saat bersamamu, dan ingatlah satu hal paling penting yakni aku pernah cinta kamu. Cinta itu kini tumbuh dalam ragaku yang akan pula menyemai cinta abadi Alexandrous untukku. Sungguh aku merasa terhormat dengan kehadiranmu di hatiku,” kata Eleni.
“Eleni, thank you, efharisto poli, terimakasih banyak. Sebuah penyelesaian yang manis oleh elang yang telah kembali bersayap. Ijinkan tetap kutanam cinta itu di dadaku, walau tak akan lagi pernah kumiliki kehangatmu”
Eleni bergerak mendekat dan kucium pipi kiri dan kanannya dibarengi pelukan, yang lebih mirip terasa sebagai peluk hangat sahabat. Bibirku basah oleh airmata perempuan Yunani itu. Alexandrous memandang dari kejauhan.
Beberapa saat kemudian kulihat tangan Alex dan Eleni yang dilambaikan dengan satu tangan lain saling mendekap tubuh satu sama lain di batas masuk menuju ke aula passport control. Aku menangkap sirat senyum kerelaan dan kelegaan di wajah Alexandrous. Lengan Alex melingkar lekat di bahu Eleni.
***
Aku baru saja meraih bagasi dari pemeriksaan bea cukai bandara Juanda Surabaya ketika dari belahan pintu keluar kudengar teriakan Reina.
“Bapak! Bapak! Aku di sini!” Reina melambaikan kedua tangannya riuh dalam gendongan Trista. Aku menghambur dan mengambil alih Reina dari gendongan Trista.
“Wuah! Baru ditinggal dua minggu, udah tumbuh jadi gede nih anak!” aku menciumi Reina. Trista menantikan dengan senyum manis.
“Kayaknya ada juga yang perlu diberi ciuman selain Reina?” Trista bergerak memelukku ragu-ragu. Aku menurunkan Reina dan memeluk istriku. Air mata Trista meleleh di pipiku; dua lelehan airmata perempuan berbeda, dalam dua makna yang berbeda, dalam waktu dua hari ini.
“Terimakasih kau kembali padaku dan pada Reina, Mas Rodi. Aku tak mau bilang aku cinta kamu. Tapi aku ingin kau, aku dan Reina menapaki hidup yang lebih indah. Aku tak akan berjanji apa-apa padamu. Tapi seiring berjalannya waktu, kau akan bisa lihat cinta Trista yang baru, yang hanya untuk Rodi dan Reina.
“Tak ada alasan bagiku untuk tidak mempercayaimu, Trista. Aku akan selalu ada untukmu dan Reina,” dan kucium bibir Trista. Tak pernah sebelumnya kurasakan Trista membalas ciuman sehangat itu.
Ini membuat orang-orang di sekitar pintu kedatangan internasional bandara Juanda bersuit-suit riuh.
TAMAT
Catatan :
Cerita ini fiksi, bila ada kebetulan itu betul-betul kebetulan. Bila di kemudian hari ada yang mau mengangkat cerita ini menjadi film cerita televisi, misalnya (sok GR), maka wajah-wajah seperti inilah yang akan menjadi pemerannya: