EPISODE 5 silakan baca DI SINI
Mungkin karena terbiasa ditinggal pergi ibunya, Reina tak banyak mengeluh menghabiskan malam Minggu denganku di mal. Bisa juga ini karena bibinya, Tante Fitri ikut pula ke mal. Perempuan paruh baya yang selalu diandalkan Trista bila harus berdinas keluar kota untuk waktu yang cukup lama itu memang termasuk penyabar. Ia sendiri tak punya anak dan hidup dari pensiun suaminya yang meninggal 7 tahun lalu.
Aku berkali-kali melirik layar HP. Sejak berangkat ke Singapura Jumat siang kemarin, ia belum telepon atau kirim sms. Tidak juga kepada Tante Fitri. Kalau mungkin Trista ogah menanyakan kabarku, setidaknya ia sms atau telepon Tante Fitri untuk menanyakan keadaan Reina. Trista pasti terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Seperti yang ia bilang, orang-orang di kantornya itu gila kerja. Rapat tak pernah kenal weekends, dan seperti yang sempat Trista bicarakan padaku sebelum berangkat, rapat ini membahas soal kenaikan gaji tim manajemen, yang berarti bicara soal kenaikan gaji Trista pula.
Okelah, kalau memang Trista bakal menjadi tulang punggung keluarga kecil ini dalam mendulang rupiah, aku harus memberinya keleluasaan.Reina memang harus dapat kepastian masa depan dan pendidikan yang baik. Kalau cuma mengandalkan penghasilanku sebagai guru privat, rasanya kurang hebat. Penghasilanku, terkuras habis untuk biaya hidup sehari-hari. Biaya gaya hidup Trista ia sendiri yang urusi.
Aku baru saja hendak berangkat mengajar bahasa Inggris jadwal jam 10 Minggu pagi tak jauh dari perumahanku ketika seutas sms meluncur ke HP-ku, nomor tak dikenal. Aku buka sms itu.
“Kaliméra sas. Pos ise?….” Demikian pesan singkat itu, menyapa selamat pagi dan menanyakan kabar dalam bahasa Yunani. Ini pasti dari Eleni.
“Kaliméra sas. Kalá, efharistó! Ada apa?” aku membalas sapanya.
“Aku bersemangat belajar bahasa Indonesia. Bisa dapat tambahan pelajaran hari ini, jam 10.30?” demikian sms Eleni.
Aku berpikir sesaat, dan kubalas sms itu. “Dengan senang hati. Tunggu ya?”
Selebihnya aku sibuk pencet-pencet key-pad HP untuk membatalkan jadwal mengajar bahasa Inggris jam 10 pagi dengan siswa di perumahan sebelah.
***
Agak mengganggu pikiranku ketika Eleni membuka pintu adalah raut wajahnya yang tidak secerah biasanya. Meski kelihatan senang dengan kehadiranku, senyum itu tidak terlalu riang.
“Apa kabar hari ini?” tanyaku.
“Baik-baik. Kamu bagaimana?”
“Baik-baik. Semalam ke mal dengan putri saya,” kataku.
“Oh ya, pasti asyik. Berapa umur putrimu?’
“5 tahun!”
“Ia pasti cantik sekali”
“Sangat cantik”
“Mirip kamu?”
“Mirip ibunya,” kataku. Ia tersenyum sedikit.
Berbeda dengan bunyi sms yang katanya bersemangat belajar hari ini, Eleni kali ini agak sulit berkonsentrasi. Satu jam pertama dilalui dengan banyak hambatan menghafal yang mestinya mudah bagi dia.
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku.
“Aku baik-baik saja. Sebenarnya pingin menyendiri…..”
“Ow, kalau begitu…..aku bisa pulang sekarang!”
“No, no, nggak begitu……eh, kalau kita sudahi pelajaran bahasa Indonesia ini bagaimana? Kita ngobrol santai saja?” kata Eleni.
“Baik, tidak apa-apa. Are you sure you don’t want me to leave?”
“Very sure. Kamu di sini saja barang sebentar!” Eleni membuka lebar jendela yang membentang ke hamparan luasbagian barat Surabaya di bawah sana. Ia mememberi isyarat padaku agar membantu menggeser sofa untuk menghadap ke jendela. Ia kemudian mengambil dua gelas jus tomat dan memberikan segelas padaku.
“Ini tomat yang kita beli kemarin. Orang Yunani suka sekali tomat,” kata Eleni duduk di satu sisi sofa. Ia menepuk-nepuk bidang duduk sofa dan berkata,” Duduklah di sini,” katanya. Ragu-ragu aku duduk di sofa yang hanya cukup untuk berdua itu.
“Pemandangan ini, aku suka,” kata Eleni dalam bahasa Indonesia, menatap jauh ke luar jendela.
“Ya, sama. Tak sering aku menikmati pemandangan Surabaya dari ketinggian,” kataku.
Eleni terdiam sesaat.
“Katakan padaku, Rodi, apa arti cinta bagi perempuan Indonesia?” tiba-tiba Eleni bertanya.
Aku sedikit terkejut. Pertanyaan ini terasa agak aneh bagiku.
“Well, aku kira persepsi tentang cinta di mana-mana sama saja. Perempuan Indonesia juga sama dengan perempuan manapun. Cinta itu diikat oleh rasa, oleh nilai sosial, oleh hubungan timbal balik yang positif dengan pasangannya,” kataku.
“Kalau cinta seorang perempuan yang sudah menikah?”
“Perempuan Indonesia juga, maksudmu?” aku menoleh Eleni, batal menyedot jus tomat.
“Ya!”
“Umumnya ikatan cinta perempuan pada suami kuat dan banyak perkawinan yang survive sampai salah satu meninggalkannya karena kematian. Tapi cinta dalam perkawinan bisa juga tak bertahan lama, karena kehadiran pihak ketiga dan sebab-sebab lain. Di mana-mana sama,” kataku.
“Boleh tanya, kenapa ini kita angkat sebagai topik?” tanyaku. Aku heran saja, kenapa perempuan yang belum terlalu lama mengenal aku, yang kenal hanya sebatas hubungan guru-murid, berani membicarakan masalah yang menjurus pribadi. Apakah karena Eleni telah menganggap aku sebagai teman baik? Ataukah karena memang perempuan Yunani biasa berbagi masalah dengan teman baru sekalipun?
“Maaf kalau topik ini membosankan,” Eleni bangkit dari duduknya, menaruh gelas di meja dan membuka komputer lap-top.
“Ingat ketika kapan hari kubilang perempuan Indonesia cantik-cantik?” tanyanya, menyalakan laptop di meja.
“Ya, aku ingat kau bilang itu” kataku menoleh.
“Kemarilah sebentar! Lihat foto ini. Perempuan muda Indonesia ini. Bagaimana menurutmu? Cantikkah dia?” Eleni menghadapkan layar komputer laptop ke wajahku. Darahku tersirap. Itu foto Trista. Kenapa foto Trista ada di komputer Eleni?
Eleni menekan tombol geser gambar, menunjukkan sejumlah foto Trista dengan latar belakang tempat-tempat umum di Singapura. Aku tak langsung menanggapi. Aku menatap foto-foto itu tak berkedip.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Eleni.
“Dia cantik sekali….cantik sekali….” Kataku.
“Menurutku juga. Ia perempuan luar biasa. Lihat parasnya. Lihat bentuk tubuhnya yang ramping menggoda. Lihat lekuk-lekuk badan dan senyumnya”
“Boleh tahu siapa dia?” kataku, berdebar dadaku. Apakah Eleni tahu perempuan itu istriku?
“Namanya Trista, seorang manajer di sebuah perusahaan multinasional besar di Surabaya. Aku sungguh kagum pada keelokan perempuan ini,” kata Eleni meneguk jus tomat tanpa sedotan.
“Bagaimana kau dapatkan foto ini?” aku bertanya.
“Adik laki-lakiku tinggal di Singapura. Ia memotretnya diam-diam, dan mengirimkannya padaku tadi pagi lewat e-mail,” kata Eleni. Makin terkejut aku dengan informasi ini.
“Memotretnya diam-diam?” ulangku. Aku jadi tak berselera meneruskan jus tomatku.
“Ya, diam-diam. Tak sengaja adikku melihat Alexandrous dari kejauhan bersama perempuan ini.
"Alexandrous?" tanyaku.
“Ya. Alexandrous, suamiku. Dan lihat ini,” Eleni menggeser koleksi foto. Kali ini ke sebuah pemandangan dengan dua orang bergandeng mesra di lobi sebuah hotel mewah. Foto itu tak terlalu jelas, tapi cukup jelas untuk melihat wajah-wajahnya.
“Yang laki-laki itu Alexandrous. Yang perempuan itu Trista. Foto ini diambil tadi malam. Mereka menginap di hotel ini,” roman muka Eleni berubah sendu.
“Bukankah Alexandrous pergi ke Bangkok?” tanyaku mirip orang bodoh di tengah kecamuk otak dan hatiku.
“Perempuan ini hebat,” Eleni tak langsung menjawab pertanyaanku, “Ia bisa menaklukkan Alexandrous. Bisa memalingkan cintanya dari aku, bisa membuatnya berbohong!” Eleni mengusap hidungnya.
“Sorry, Eleni. Apakah benar-benar mereka menginap di hotel ini?” tanyaku.
“Ya, adikku tak mungkin bohong. Mereka check-in dengan nama Trista. Tadi pagi adikku telepon ke kamar mereka. Alexandrous yang terima. Adikku menyamar sebagai orang lain ketika menelepon.
Aku terduduk di kursi di dekat meja belajar. Jantungku berdebar-debar dan kepalaku berdenyut-denyut.
“Are you all right?” tanya Eleni.
“Aku tak apa-apa, cuma kaget saja. Bisa kubayangkan perempuan itu pastilah bersuami!”
“Trista bersuami. Aku tahu itu!” kata Eleni.
“Kau tahu suaminya?” aku bertanya.
“Tidak perlu tahu! Aku tidak perlu tahu!” Eleni kembali ke sofa di hadapan jendela dan tersandar lemas. Lama ia duduk dengan pandangan kosong ke luar jendela. Aku belum bisa bicara, sibuk dengan benakku yang berputar-putar tak keruan, mungkin sama tak keruannya dengan benak Eleni.
“Ime aitos horis ftera,” katanya dalam bahasa Yunani tiba-tiba.
"Sorry?" aku tak mengerti.
“I am an eagle without wings, aku elang tanpa sayap,” desisnya lirih. Aku menghampiri Eleni dan duduk di dekatnya.
“Ini cobaan buatmu, Eleni. Kau harus kuat. Kau pasti bisa melaluinya. Apakah Alex telepon kamu kemarin-kemarin?”
“Ya, tadi malam dia telepon. Dia bilang dia ada di Bangkok, mengobrol sebentar, aku bilang baru jalan-jalan cari gado-gado dan belanja tomat dengan kamu,”
“Ime aitos horis ftera………Aku mau putar musik itu. Kamu mau dengar lagi?” Eleni berdiri dan menghampiri rak CD player. Sebentar kemudian musik itu mengalun lagi. Eleni tak kembali ke sofa. Ia menyimak seksama bagian awal musik itu dan mulai menggerakkan tubuhnya mengikuti ritme musik. Denting-denting alat musik bouzouki, sejenis gitar klasik Yunani, yang dipetik mulai ritme lambat dan menjadi cepat, diikuti Eleni dengan gerakan elang yang sulit terbang. Liuk-liuk tubuh dengan mata terpejam itu membuatku tak mampu berbicara kecuali memperhatikan dengan lekat.
“Thélete na horépsete mazí mu?” tiba-tiba Eleni berhenti sejenak dan menatapku.
“Apa itu?”
“Maukah kau dansa denganku?” ulang Eleni dalam bahasa Inggris.
“Aku? Aku tidak bisa berdansa!” elakku.
“Sini aku ajari. Ikuti gerakanku,” ia menyambut tangan kananku dengan tangan kirinya dengan gerakan gemulai. Kikuk aku menyerahkan tanganku dalam genggamannya.
“Berdirilah tepat di hadapanku, lingkarkan lenganmu di pinggangku, ikuti gerakanku. Kita adalah elang-elang tanpa sayap….”
Tak mudah bagiku mengikuti gerakan itu. Tapi Eleni adalah pengajar dansa yang baik. Gerakan kedua tungkai kaki Eleni menyeretku ke tahap-tahap koreografi liar yang tak pernah kukenal sebelumnya. Bila rengkuhanku di pinggangnya melemah, ia membantu merapatkannya. Terlalu dekat dengan Eleni, harum tubuh perempuan Yunani itu sangat mengganggu pikiran dan konsentrasi. Ketika musik usai, ia putar ulang dan sekali lagi ia menggiringku ke gerakan-gerakan magis. Kubiarkan ia mengendalikan aku dalam tarian itu, dan kuikuti serta kuupayakan gerakan balasan yang setimpal dengan yang ia ajarkan. Ia kelihatan senang ketika aku mulai bisa mengimbangi gerakannya. Tiga kali kami memutar musik itu. Peluh membanjir di dahi Eleni.
"Huih! Dansa yang hebat! Bersama guru hebat!" pujiku. Eleni hanya tersenyum singkat.
Aku menjumput dua helai tisu di meja dan memberikannya kepada Eleni. Ia mengusap peluh di dahinya setelah mengucapkan terimakasih.
“Masih belum kering betul,” kataku asal saja melihat simbahan tipis keringat di leher di bawah telinga. Aku mengambil beberapa helai tisu dan mengangsurkannya kepada Eleni. Ia menerimanyadan mengusap bidang leher yang kutunjuk yang masih basah dengan gerakan mempesona.
“Kamupun keringatan,” kata Eleni menunjuk dahiku. “Karena kau telah berbaik hati mengambilkan tisu, biarlah aku mengusap keringatmu,” Eleni menjumput beberapa lembar tisu dan mulai mengusap keringat di dahiku dengan lembut. Aku mundur sedikit dan menahan nas, membiarkan tangannya bergerak lembit di seputaran dahiku. Dekat sekali wajah itu ke wajahku. Perempuan ini lama-lama bisa membuatku gila. Eleni menatap mataku beberapa saat. Aku balik menatapnya. Ada pancaran kuat di mata itu; sepasang mata elang yang menyorot tajam. Tapi ia kemudian mundur beberapa langkah ketika ia mulai melihatku gugup.
“Oh, maaf, aku membuat kamu tidak nyaman….maaf!” Eleni mengusap hidung dan mematikan CD player. Nafasnya naik turun.
“It’s okay, Eleni. Aku suka itu. Kamu baik,” nafasku tak kalah memburu. “Tapi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang.......,” aku mengemasi buku dan tas.
“Rodi? Kamu baik-baik saja?” Eleni terheran-heran.
“Aku baik-baik saja, Eleni. Thanks for the wonderful dance lesson! Aku benar-benar menikmatinya"
Eleni menatapku lekat ketika mengantarku ke pintu. Aku tak menoleh lagi. Dadaku belum benar-benar berhenti berdebar. Dalam waktu setengah jam terakhir terlalu banyak hal bergejolak di dada ini. Trista! Eleni!