Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Novelet: Perempuan Yunani dan Guru Privat Bahasa Indonesia (5)

22 Oktober 2011   05:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:39 511 2

EPISODE 4 ADA DI SINI

Eleni lebih banyak tersenyum pada sesi pelajaran kali ini dan tak henti aku dibuat kagum oleh kecerdasannya dalam menangkap bahasa Indonesia. Aku mengajari berbagai variasi ucapan formal dan informal dalam bahasa Indonesia.

“Supaya lebih santai, mulai sekarang panggil saya Rodi saja, tanpa ‘Pak’”, kataku.

“Boleh begitu pada guru?” Eleni tersenyum.

“Kenapa tidak? Kita juga mulai bisa pakai kata ‘kamu’ sebagai ganti ‘Anda’, kata ‘aku’ sebagai ganti ‘saya’,” aku menjelaskan.

Kami berlanjut belajar lebih banyak materi percakapan.

“Sudah berapa lama kamu tinggal di Indonesia?” aku menguji Eleni.

“Saya sudah 6 bulan di Indonesia. Kamu sudah berapa lama tinggal di Surabaya?” tanya Eleni.

“Sudah 10 tahun!”

“Oh ya? Kamu berasal dari mana?”

“Aku berasal dari Malang!”

“Malang? Di mana itu Malang?”

“Malang sekitar 90 kilometer dari Surabaya”

“Se-ki-tar? Apa itu?”

“Oh, maaf….’about’”

“Ah, ya…..Malang sekitar 90 kilometer dari Surabaya?”

“Benar! Wah, Eleni. Kamu pintar!” pujiku.

“Terimakasih. Efharisto poli!” kata Eleni.

Efharisto poli?” ganti aku yang bengong.

“Oh, itu ‘terimakasih banyak’ dalam bahasa Yunani,” jelas Eleni.

“Efharisto poli! Menarik!” kataku, “mudah diingat”

“Ya, struktur pengucapan dalam bahasa Indonesia tak terlalu berbeda dengan struktur pengucapan dalam bahasa Yunani,” kerling Eleni. “Mau belajar kata-kata Yunani lainnya?”

“Boleh?”

“Oke, sekarang aku jadi gurumu. Coba tirukan ini : pos íste?”

Pos íste? Apa artinya?”

“Apa kabar, kalau mau lebih formal ‘pos íse?’

Okay, Eleni, pos íse?”

Kalá, sas efharistó. Esís? Baik, terimakasih. Kamu?”

Kalá, sas efharistó!” jawabku.

“Bagus sekali! Wow, kamu murid cerdas, Rodi”

Efharisto poli!”

“Ahahahah….hebat. Mau tambah lagi?”

Sure. Ini keren!”

“Okay, sekarang coba ini : Hárika ya tin gnorimía. Senang bertemu denganmu”

Hárika ya tin gnorimía!”

“Lalu yang ini : Miláte Elliniká? Bisa bicara Yunani”

“Bagaimana menjawab ‘ya sedikit’?”

Ne, ligáki!”

“Tolong diulang pertanyaannya!”

Miláte Elliniká?”

Ne, ligáki!”

“Kerennnn!” ujar Eleni dalam dalam bahasa Indonesia.

“Oh ya, bagaimana bilang‘tolong bicara pelan-pelan’?”

Parakaló miláte pyo argá

“Kalau ‘aku tidak mengerti’?”

Den katalavéno

Dan sepanjang sisa pelajaran bahasa Indonesia itu beralih situasi menjadi les privat bahasa Yunani. Aku jadi murid, Eleni gurunya.

“Well, aku harus memujimu, Eleni. Kamu guru bahasa paling hebat yang pernah kukenal,” kataku.

“Boleh percaya boleh tidak, aku meniru gayamu mengajar”

“Oh ya, gaya apa itu?”

“Sabar, tidak menekan, memahami kesulitan murid asing, dan pengucapan yang jelas!”

“Wah, wah….jangan-jangan aku harus bayar balik untuk pelajaran ini!” aku berseloroh.

“Iya nih…..mana uangnya,” Eleni bercanda mengulurkan tangan seperti meminta uang dengan gerakan mata dan bibir yang lucu.

Dan kami tertawa bersama. Perempuan ini benar-benar teman yang hangat. Kalau saja aku tak punya urat malu, ingin rasanya duduk berlama-lama di meja belajar dengan Eleni. Aku menengok jam di layar HP.

“Oh, sorry, sudah waktunya selesai, ya?” kata Eleni.

“Ya, tapi tadi banyak waktu terpotong untuk belajar bahasa Yunani. Perlu saya tambah waktunya?” kataku.

“Aku kira cukup….mhh, begini. Aku suka sekali makan gadi-gado. Kapan hari diajak Alex di mal. Tapi kata teman-teman Alex ada yang lebih enak, biasanya di warung biasa. Aku pingin makan gado-gado di warung biasa. Kalau ada waktu, boleh antar aku?”

“Sekarang?”

“Ya, sekarang!”

“Okay!” sambutku.

“Bagus. Tunggu sebentar, aku ganti baju!” Eleni hilang ditelan pintu kamar. Sebentar kemudian ia keluar dengan celana jeans ketat dan kaos oblong santai produk toko souvenir di Bali.

“Nih, lihat aku pakai jeans dan kaos oblong kayak kamu. Aku suka gaya santaimu. Bagaimana menurutmu?” tanya Eleni.

“Aku nggak mau jawab,” kataku.

“Kenapa?”

“Karena tak tahu bahasa Yunani-nya”

“Memangnya mau jawab apa?”

Charming, beautiful!”

“O, itu ómorfí, goíteftikí!”

***

“Kamu naik apa?” tanya Eleni begitu sampai di lobi bawah.

“Sepeda motor!”

“Bisa dipakai berdua?”

“Bisa”

“Kalau begitu naik motormu saja”

“Wah, kamu tahu di luar sana matahari panas sekali”

“Aku tak masalah dengan matahari. Pingin kulitku coklat kayak kamu!” otot Eleni.

Dan motor menderu melaju di tengah terik siang kota Surabaya. Duduk di boncengan, perempuan Yunani ayu berkacamata hitam dengan rambut terburai diterpa angin. Bisa kulihat dari kaca spion Eleni sangat menikmati panasnya kota. Sang elang betina rupanya mulai tumbuh bulu!

Tiba-tiba saja sebuah motor polisi menyalip dari kanan dan memerintahkan aku untuk berhenti.

“Selamat siang, mohon tunjukkan SIM dan STNK!” polisi berkumis lebat itu mendekatiku.

“Apa salah saya, pak?”

“Anda membonceng penumpang tak pakai helm!” kata pak polisi. Aku menepikan kendaraan. Takut-takut Eleni turun dari boncengan. Pak polisi mengajak aku menepi. Sebentar kemudian aku balik ke tempat Eleni berdiri.

“Yuk, berangkat lagi” kataku.

“Itu tadi ada apa?” Eleni heran.

“Tilang karena pembonceng tak pakai helm?”

“Problem?”

“Sama sekali tidak. Ia polisi baik, ia terima salam persahabatan dari saya, dan mengijinkan kita pergi,” kataku sembari menjelaskan arti kata ‘salam persahabatan’.

“Selain itu, aku tadi bilang aku membonceng sekretaris Duta Besar Yunani untuk Indonesia yang mau jajan gado-gado. Pak Polisi senang gado-gado disuka perempuan Yunani,” kataku bercanda.

“Bener kamu bicara begitu pada polisi itu?” tanya Eleni.

“Tentu saja tidak!”

Eleni menepuk punggungku berkali-kali dengan tawa amat renyah. Sepanjang siang ini aku dan Eleni menghabiskan waktu menyantap makanan-makanan berbasis sayuran yang menurut Eleni sangat eksotis itu. Ngobrol santai dengan perempuan ini  membuatku tak kenal waktu. Tak kunyana ia banyak sekali bicara dan cerita; mulai dari kehidupan di kota kecil kelahirannya, pertemuan dengan Alexandrous dan keindahan negara Yunani.

Eleni juga membawa pulang satu tas plastik besar tomat segar yang dibeli di pasar tradisional.

Tak jelas jam berapa aku sampai di rumah. Matahari sudah condong ke barat ketika Reina menyongsong aku di pintu rumah.

“Bapak, nanti ke mal, ya?” demikian pinta Reina. Aku menggendong gadis kecilku dan memberinya kecupan di pipi.

“Sip, kita jalan, makan dan main! Oke?”

“Oke”

Aku mengguyur tubuh dengan air shower. Air itu seperti beraroma Eleni dan titik-titik air yang membuncah di wajahku mengirim kerling cantik perempuan berambut coklat itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun