“Pak Rodi, boleh saya Tanya sesuatu,” kata Eleni.
“Silakan,”
“Apa yang pak Rodi ketahui tentang Yunani?”
“Yunani? Well, negara-negara lain yang lebih dikenal orang Indonesia adalah Amerika dan India karena film dan musiknya, Inggris karena sepakbolanya, China karena produk-produknya, Belanda karena negara bekas penjajah, Singapore karena kedekatan geografisnya. Jarang yang kenal Yunani. Tapi saya tahu sedikit tentang Yunani”
“Tell me what you know,” Eleni menjenakkan duduknya, bersandar santai di kursi empuk dengan satu tangan menopang kepala.
“Wah, apa ya? Saya pernah baca novel klasik Zorba the Greek karangan Nikos Kazantzakis versi bahasa Inggris, dan suka dengar suara lembut Nana Mouskouri,”
“Zorba the Greek? Wah, itu juga kesukaan saya waktu kecil. Kalau Nana Mouskouri itu favorit ibu saya,” mata Eleni membundar. “Hebat juga pak Rodi bisa tahu karya sastra dan musik Yunani. Saya juga kebetulan bawa CD Yunani favorit saya. Mau dengar?”
Eleni langsung berdiri, menghampiri satu meja di sudut ruangan dan memilah-milah CD. Dengan gerakan manis ia menyisipkan CD ke alat pemutar, dan mulai mengalun musik yang bernuansa lembut tapi terdengar asing di telingaku.
“Ini koleksi instrumentalia komponis-komponis hebat Yunani,” Eleni menyodorkan kotak CD dengan sopan. Aku mengamati sampul kotak itu. Tiga nama besar komponis Yunani ada di sampul : Mikis Theodorakis, Manos Hadjithakis, Stavros Xarhakos.
“Belum pernah dengar. Tapi enak di telinga. Ini musik keren,” kataku. Tak sengaja kalimat yang terakhir pakai bahasa Indonesia.
“Apa pak Rodi bilang barusan?” tanya Eleni.
“Oh, maaf. Itu bahasa Indonesia. Ini musik keren. This is cool music,” kataku.
“Tolong ulang sekali lagi!”
“Ini musik keren”
“I-ni mu-sik ke-ren!” ulang Eleni.
“Wow! Pintar!” kataku.
“Ini musik, keren ya?” kata Eleni lagi. Senang sekali ia bisa mengulang kata-kata itu dengan baik.
“Sungguh pak Rodi suka musik ini. Bukan hanya basa-basi?” tanya Eleni.
“Oh, no. I really like it. Lembut, tapi ritmis dan dinamis!” aku sengaja menggerak-gerakkan kepala mengikuti nada musik. “Ini musik keren!” kataku lagi.
“Ya…ini musik keren!” ujar Eleni dengan tawa kecil.
Dan terdengar suara ketukan. Eleni membuka pintu. Alexandrous berdiri di pintu.
“Hi, honey! You’re back!” Eleni mengecup kecil bibir Alexandrous.
“Maaf, maaf sekali. Jalanan macet seperti biasa! Sudah mulai?”
“Belum, tunggu kamu” kata Eleni. “Hai, tahu nggak, honey? Ini musik keren” ujar Eleni pada Alexandrous.
“Ini apa…..?” Alexandrous pakai bahasa Indonesia.
“Musik keren! Nice music. Itu kata pak Rodi”
“Oh, good. Pak Rodi suka ini?” tanya Alexandrous.
“Suka sekali! Ini musik keren!”
“Well, ayo kita mulai belajarnya. Sudah terlambat setengah jam,” kata Eleni, mematikan CD player.
***
Trista sedang berdandan ketika aku masuk kamar menjelang pukul 7 malam itu.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Oh ya. Aku lupa. Ada pesta gathering kantor malam ini, perpisahan direktur produksi yang mau dipindah ke Bangkok. Mendadak. Aku lupa bilang. Aku juga lupa bilang suami atau istri diundang juga. Kamu ikut ya, Mas?”
“Aku….”
“Tuh sudah kubelikan baju dan celana baru,” Trista menunjuk setumpuk busana baru di pinggiran tempat tidur. Aku yakin ia tahu aku bakal kesulitan mencari baju yang layak pakai untuk mendampingi istri.
“Memangnya harus aku harus ikut?” ogah-ogahan aku menyentuh pakaian baru lengkap dengan label harga yang masih menempel.
“Sebaiknya begitu. Biar kamu lebih kenal dengan rekan-rekan kantorku. Coba baju dan celananya. Jam delapan kita musti sampai di lokasi,” kata Trista tak berhenti mematut-matut wajah.
“Celananya oke, tapi bajunya kegedean,” aku menunjukkan diriku pada Trista, dalam balutan kemeja yang salah ukuran.
“Oh, shit! Tadi kukira sudah pas!” Trista menoleh sebentar, dan selebihnya melihat lewat pantulan cermin.
“Jadi gimana?”
“Ya, udah nggak apa-apa. Kegedean sedikit nggak masalah,” ujar Trista.
Aku duduk di ujung tempat tidur. “Boleh nggak kalau kamu saja yang berangkat? Aku di rumah saja, sama Reina”
“Bener mau nggak ikut?”
“Bener. Aku di rumah saja. Lagian aku mau menyiapkan banyak bahan pelajaran buat besoki ini”
“Ya sudah…..”
Dan Trista berangkat sendiri malam itu. Ia tampil sangat cantik dengan setelan baru rok ketat dan atasn berbahan sutra dengan bagian dada rendah, membiarkan keindahan kulit dada terbuka lebar.
Malam itu, aku dan Reina sudah lelap ketika Trista pulang. Jam dua belas kurang sedikit. Aku enggan bertanya kenapa pesta perpisahan tema nsekantor bisa selarut itu.
***
Alexandrous dan Eleni sudah siap ketika aku datang Kamis sore itu. Pelajaran bahasa Indonesia kali ini berkisar pada penggunaan kata tanya, beberapa kosa kata kerja, kata benda dan kata sifat. Dan seperti biasa, Alexandrous terseok-seok sementara Eleni melaju dengan pesat.
Sesaat sebelum waktu belajar selesai, Alexandrous memandang mereka perlu punya kamus bahasa Indonesia.
“Apa kamus bahasa Indonesia yang bagus?” tanya Alex.
“Sepasang kamus Indonesia-Inggris dan Inggris-Indonesia karangan Hasan Shadily bagus juga” jelasku.
“Di mana saya bisa beli?” tanya Eleni dalam bahasa Indonesia.
“Toko buku Trimedia, di Pakuwon Supermal, tak jauh dari sini,” kataku.
“Aku tahu di mana itu. Mau beli sekarang, honey?” Eleni menoleh Alexandrous.
“Hm, aku harus menyelesaikan beberapa tugas kantor dan kirim e-mail. Kalau kamu saja yang beli gimana?” kata Alexandrous. “Lebih bagus lagi, kalau diantar Pak Rodi, sekalian kamu bisa praktek bahasa Indonesia,” kata Alexandrous sambil menoleh aku. Eleni tidak menjawab dan turut menoleh ke arahku.
“Tentu saja kalau ini tidak mengganggu Anda, pak Rodi,” tambah Alex.
“Oh, tidak, sama sekali tidak. Saya kosong malam ini,” kataku.
“Good! Boleh ya antar Eleni ke toko buku?” ujar Alex, “Don’t worry. Masukkan waktu yang terpakai buat belanja buku ini sebagai waktu belajar tambahan. Setuju?”
Tentu saja aku tak bilang tidak. Eleni juga tampaknya suka dengan ide ini.
Kami memesan taksi di lobi apartemen. Aku mau duduk di kursi depan dekat supir ketika Eleni mengatakan, “Pak Rodi duduk di belakang saja sama saya. Kita bicara bahasa Indonesia,” kalimat terakhir diucapkan dalam bahasa Indonesia.
Aku menutup kembali pintu depan dan beralih duduk di samping Eleni. Harum tubuh perempuan Yunani ini menyergap hidungku.
“Oke, pelajaran bahasa Indonesia tambahan. Silakan bertanya kalau Anda melihat hal-hal yang ingin ditanyakan,” kataku.
“Kalau tidak?”
“Kalau tidak, saya yang akan bertanya. Siap-siap, ya?”
“Baik, pak guru….,” Eleni tertawa renyah, dan menoleh aku.
“Entah kenapa saya senang bisa keluar seperti ini……..” kata Eleni tiba-tiba.
“Oh ya, kenapa……….?” Aku pakai bahasa Indonesia. Eleni berpikir sejenak. Kelihatannya ia siap menjawab pakai bahasa Indonesia. Aku siang mendengarkan; bukan mendengarkan bahasa Indonesia-nya, tapi alasan kenapa ia senang bisa keluar seperti ini.
Sayang sekali ucapan Eleni baru bisa disampaikan di Episode berikutnya.
(BERSAMBUNG KE SINI)